Vongola Indo
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

No Matter

Go down

No Matter Empty No Matter

Post by Adriano Constanza Mon Feb 16, 2009 12:44 pm

No Matter

A/N: Ikutan bikin juga akhirnya saya... ngakak guling2 Well, warning buat soft shonen-ai (dan satu hint akan sebuah adegan, tapi gak dideskripsikan). Pairings included: AdrianoXTsuzuki, one-sided (?) Kano-Tsuzuki, Tsuzuki-Liu Ming. Setting sekitar 6-7 tahun sebelum RP catsmile Lagu ini bisa menggambarkan Tsuzuki, bisa menggambarkan Adri. Terserah mo mikir yang mana ngakak guling2 GAK ADA ANGST! ngakak guling2 Oh iya, bagian 2 cerita ini penting buat yang pengen tau Tsuzuki ilang ke mana ;3 sekalipun bakal lebih jelas di special RP ntar seh ngakak guling2

Part One: 7 Years Ago

There's no color in our encounter; the monochromy blows through it
I shall entrust each of my pains to you


Salju. Putih nan bersih. Sepanjang mata memandang yang terlihat hanyalah warna polos yang elok itu. Taman itu tidak berubah, dari dulu hingga sekarang. Salju yang turun terus menerus tanpa henti menjadi saksi...atas apa yang telah terjadi di sana. Ya, telah banyak yang berlalu di tempat itu, terutama bagi mereka berdua.

Seorang pria muda berambut biru tua panjang terlihat tengah berdiri tepat di bawah sebuah pohon yang tinggal batangnya, tanpa daun akibat pengaruh minimnya cahaya di tempat itu. Wajahnya setengah tertutup oleh syal biru tebal yang melilit lehernya, dan topi hitam tampak menutupi sebagian besar rambutnya. Dia mengulurkan tangannya ke depan, diam ketika salju berjatuhan ke telapak tangannya yang diselimuti sarung tangan tebal. Dia pun meremas substansi lembut itu, yang segela mencair karena hangat badannya.

Hn, jadi setidaknya dia masih memiliki badan yang hangat, eh? Tidak seperti dugaannya, dan juga apapun yang dikatakan orang. Dia mengira, hatinya sudah beku dan badannya seperti mayat. Tanpa perasaan, tanpa nyawa. Sebab, sejak awalnya, memang itu kan tujuan dia diciptakan? Dia yang gennya diturunkan dari dua orang yang dianggap paling unggul di ‘organisasi’ itu. Dia yang tubuhnya merupakan tubuh buatan. Dia yang mewarisi kemampuan dan teknik bagaikan setan itu.

Ya, sejak dulu, tersimpanlah sakit hati dan kepedihannya. Dikunci dalam-dalam, tidak dibiarkan keluar sedikitpun. Dia tidak boleh memiliki itu semua. Dia hanya senjata. Dia diciptakan dan dipersiapkan untuk menjadi ujung tombak bagi ‘organisasi’ itu. Tak ada warna selain putih dan hitam. Abu-abu, mungkin. Oh, dan juga merah. Merah, darah yang keluar dari orang-orang yang dia bunuh. Darah yang tertumpah akibat tebasan tangannya. Dan itulah dunianya, siklus tak terhingga dari hitam, putih, abu-abu, dan merah, dengan segala kepedihan dan kepahitan yang ada...

...sampai dia datang.

The unforgiving autumn, which forcefully traces my scars, comes
While your cool fingers still beckon me


“Adriano!”

Seorang pemuda berambut coklat tua berantakan terlihat berlari menyusuri taman yang dipenuhi salju itu. Nafasnya terengah-engah, dan kulitnya yang sedikit pucat terlihat begitu ironis di tengah putihnya salju. Dan dia pun berhenti ketika dia sampai di tujuannya, orang yang berdiri di bawah pohon yang ada tak jauh darinya. Orang itu tengah menatap lurus ke depan, walau orientasi matanya tak jelas. Kabur. Pemuda ini pun tersenyum kecil dan menghampiri orang itu. Pria muda berambut biru tua panjang yang dihampirinya tampak tak menyadari keberadaannya. Dia pun memutuskan untuk semakin mendekat, dekat hingga hidung mereka nyaris bersentuhan.

“Adriano?”

Sepasang mata dengan warna berbeda, kombinasi ironis merah darah dan biru laut, nampak terkejut mendengar nama yang meluncur dari bibir mungil pemuda itu. Sang pemilik pun tertawa pelan melihat ekspresi terkejut pria yang lebih tinggi darinya itu. Dengan lembut, dia pun menggenggam tangan orang itu yang terjulur ke depan. Hangat. Ah, dia memang tidak memakai apapun yang mampu menghangatkan tubuhnya. Jaket yang dipakainya sangat tipis, dan dia tidak mengenakan syal. Ceroboh, memang. Tapi dia sangat terburu-buru ketika keluar tadi.

“Adriano? Adriano tidak apa-apa?” suara lembut itu kembali bertutur, sedikit diliputi kecemasan.

Pria muda bermata beda warna itu hanya mendengus pelan. Yang tangannya dingin dan terlihat seperti mau membeku sebenarnya siapa? Dan sebenarnya siapa yang harus ditanyai tidak apa-apa, eh? Seandainya dia adalah dirinya yang dulu, mungkin dia akan membiarkan pemuda, yang masih dia anggap bocah, di hadapannya ini. Dia yang dulu, yang mengharapkan kehancuran dan kematian. Namun kini, sudah dua tahun berlalu, dan ada yang berubah. Ada, sekalipun tidak banyak. Dia pun melepas mantel hitam panjang yang dipakainya dan menyampirkannya ke sekeliling pundak kecil pemuda di hadapannya ini.

“Harusnya aku yang bertanya seperti itu,” katanya datar dengan perlahan. “Tanganmu dingin sekali, dan hidungmu merah seperti rusa.”

Pemuda bertubuh pendek berambut coklat di hadapannya ini semakin memerah, kali ini tidak hanya hidungnya tapi juga wajahnya. Dan dia hanya mampu memutar matanya. Dua tahun berlalu, namun beberapa bagian tentu tetaplah sama. Yang di hadapannya ini masih bocah yang sama seperti dulu, yang memerah wajahnya kala dia dan ‘rekan’nya ada ataupun disinggung dalam suatu masalah. Yang dulunya ingin dia penggal kepalanya, namun kini justru harus dia lindungi. Sesuai ikrar yang dibuktikan melalu cincin perak di tangannya.

“K...kamu kan pergi tiba-tiba,” kata pemuda itu dengan suara bergetar. “Dan lagi, tanganmu hangat kok. Jadi...nggak apa-apa...”

“Dan itu bukanlah sikap seorang Don Vongola, Tsuzuki,” tegurnya pelan.

Tsuzuki hanya menundukkan kepalanya dalam malu. Sikap yang begitu kekanakan dan terlihat nyaris seperti wanita muda di hadapan orang yang disukainya. Seandainya dia saat ini masih sama dengan dia yang dulu, mungkin Adriano sudah menyindir habis-habisan Don Vongola yang bisa dikatakan juga sebagai adiknya ini. Tapi dia yang sekarang? Hanya menatap datar pemuda berambut coklat berantakan ini, dengan matanya yang warnanya sangat kontras perbedaannya. Datar. Entah sejak kapan dia berubah datar begini. Seolah sejak diselamatkan, hatinya begitu kosong. Seolah, sejak awal, yang ada di hatinya hanyalah rasa benci, yang hilang dilenyapkan oleh penyucian api Oozora setahun yang lalu.

“Tapi kan... A...aku takut kamu pergi lagi...seperti waktu itu...” balas Tsuzuki.

Adriano hanya mengernyit sedikit. Takut? Takut katanya? Takut dirinya pergi dan menghilang? Tunggu dulu, apa ini tidak salah? Kenapa harus Tsuzuki yang takut dirinya menghilang...

...kalau beberapa waktu yang lalu, dialah yang amat takut kehilangan Tsuzuki?
Adriano Constanza
Adriano Constanza
Teacher
Teacher

Jumlah posting : 791
Join date : 11.11.08
Age : 37
Lokasi : Behind you

Student Data
Flame Type: Mist
Rank: A
Shoutout: "...where are you...?"

Kembali Ke Atas Go down

No Matter Empty Re: No Matter

Post by Adriano Constanza Mon Feb 16, 2009 12:45 pm


After I'd melted, you tenderly save
The troublesome, icy me and toy around with me with a kiss


”...bahkan kepolosan...tidak, kebodohan juga ada batasnya, tahu.”

“He?”

Tanpa peringatan apa-apa, Adriano pun melepaskan syal tebalnya dan memakaikannya ke sekeliling leher Tsuzuki. Orang lain mungkin akan segera berpikir kalau Adriano hendak mencekik Tsuzuki. Tapi tidak. Don Vongola ini tahu lebih baik daripada itu. Dia tahu benar kalau Adriano tidak akan membunuhnya. Setidaknya, Adriano yang saat ini. Dia benar-benar mengetahui hal itu, apalagi mengingat apa yang telah terjadi saat pertempuran melawan Estraneo Famiglia. Dia selalu mengingat saat itu, ketika Adriano menerima pisau dari sang ketua Estraneo yang seharusnya menembus dada Tsuzuki. Padahal, segalanya akan lebih mudah bagi Mist Guardiannya itu seandainya Tsuzuki mati. Rencana yang awalnya dia susun untuk menjatuhkan Vongola seharusnya bisa terwujud, bukan? Tetapi Adriano tidak mengambil pilihan itu. Kenapa, Tsuzuki sendiri tidak tahu. Tapi hatinya menghangat karena alasan itu, dan tanpa sadar, dia membiarkan seulas senyum menghiasi wajahnya.

Dan tentunya membuatnye menerima dahi yang mengerut dari orang di hadapannya ini.

“Kenapa kau tiba-tiba tersenyum begitu?” tanya Adriano dengan tatapan yang menyelidiki.

“Mm...” jawab Tsuzuki sambil menggeleng. “Tidak ada apa-apa kok. Ayo kita pulang...”

Dan dia pun kembali menggenggam tangan yang hangat itu, merasakan sarung tangan kulit dan juga kehangatan tubuh sang pemilik...

Siapa yang menyelamatkan, dan siapa yang diselamatkan, tidak pernah jelas di antara mereka berdua. Diakah itu yang menyelamatkan Adriano, atau justru dia yang diselamatkan Adriano? Tsuzuki tidak pernah tahu, dan dia memang tidak ingin tahu. Yang dia inginkan hanyalah merasakan kehangatan ini lebih lama lagi. Karena untuk pertama kalinya, dia benar-benar merasakan sesuatu sebagai dirinya sendiri...

Nevertheless, I search for a single form of love
Your dried eyes tied it to the present from a time far beyond


“Tidak.”

“Ya.”

“Kukatakan tidak.”

“Tapi aku memintamu untuk mengatakan ya.”

Sepasang mata merah dan biru yang selama ini selalu dia tatap dengan wajah memerah pun menatap tajam ke arahnya. Tapi Tsuzuki tidak menyerah, tidak mau kalah dengan apa yang dikatakan mata itu. Dia tahu kalau mata itu berusaha menyuruhnya untuk berhenti membujuk. Berusaha mengatakan bahwa sang pemilik akan selalu menolak untuk memenuhi permintaan yang ini. Tapi Tsuzuki tidak akan mau menyerah. Dia telah merencanakan segalanya sedemikian rupa, dan semuanya tentu akan gagal bila Adriano sendiri tidak mau datang.

“Tidak.”

“Tapi Adriano...hanya pesta Natal sekali ini saja kenapa sih? Semuanya sudah mau datang, dan siap berpesta bersama, denganmu juga!” protes Tsuzuki.

“Jangan bergurau,” balas Adriano sambil menggigit bibirnya, menggenggam erat gorden hitam di kamarnya hingga nyaris robek. “Mereka masih belum bisa menerimaku. Aku tahu itu. Daripada aku menghancurkan pesta yang, oh bagimu sangat berharga karena ketua Varia-mu tercinta akan ada di sana, lebih baik kau tidak usah mebujukku untuk pergi, Tsuzuki.”

Tsuzuki terdiam. Memang, apa yang dikatakan Adriano memang benar. Belum semua Vongola menerima dengan baik kedatangan Mist Guardian baru itu. Sekalipun dia telah membuktikan bahwa dia tidak akan mengkhianati Vongola di saat peperangan dengan Estraneo, bukan berarti usahanya memecah Vongola dari dalam beberapa waktu yang lalu bisa dilupakan begitu saja. Inilah fakta yang tidak akan tergantikan, dan Tsuzuki tahu itu. Tapi...entah kenapa dia bisa merasakannya. Kepahitan di balik suara Adriano saat mengatakan itu...

Tanpa sadar, Tsuzuki telah memeluk Adriano dari belakang. Kedua tangannya yang mungil itu melingkari pinggang sang Mist Guardian, kepalanya dia letakkan di punggung pria itu. Dia bisa merasakan kalau Adriano menegang, terkejut oleh gesturnya yang demikian mendadak ini. Dia sendiri memang tidak tahu kenapa dia melakukan hal ini. Tapi dia tidak merasa salah melakukannya. Tidak ketika dia tahu kalau sekalipun yang bersangkutan sendiri tidak menyadarinya, Adriano tengah terluka di dalam. Hancur. Dan Tsuzuki ingin mengobatinya, mengembalikannya seperti semula. Karena biar bagaimanapun juga, kabut adalah bagian dari langit. Bila kabut terluka, tentunya langit juga akan terluka...

“Aku tidak mengerti...” gumam Adriano.

“...aku juga tidak mengerti...” balas Tsuzuki.

“Apa ini artinya kau menerimaku?”

“Ya.”

“Bahkan sekalipun...aku yang seperti ini...?”

Tsuzuki mengangguk pelan, tetap memeluk Adriano.

“Aku tahu, apa yang kau pikirkan. Memang, hampir setiap orang hanya bisa menerima sesuatu yang bisa masuk ke dalam pikiran mereka. Di luar apa yang mereka harapkan, di luar apa yang mereka inginkan, akan mereka tolak. Dan, sejujurnya, awalnya aku juga...hanya mau menerimamu saat kamu berubah...” kata Tsuzuki pelan. “Tapi Adriano, aku tahu kalau aku salah. Karena ketika menerima seseorang sekaligus meminta adanya perubahan, pada akhirnya hal yang dikatakan ‘menerima’ itu tidaklah pernah dilakukan. Karena yang berharga dari ‘menerima’ itu bukanlah syarat atau perubahan apapun yang diinginkan, tapi saat ketika bisa menerima seseorang seperti adanya dia...”

“Logika yang aneh,” gumam Adriano pelan.

“Yep, karena aku orang aneh?”

“Dan bagaimana...jika aku juga orang yang aneh?”

Hal terakhir yang dilihat Tsuzuki adalah seulas senyum yang selama ini tidak pernah dilihatnya. Senyum yang menghiasi wajah itu. Wajah Adriano...yang selama ini selalu ditelan kegelapan. Dan yang dirasanya berikutnya adalah sepasang bibir yang menyentuh bibirnya. Dia pun menutup matanya, hatinya merasakan bahwa akhirnya, sesuatu bisa menjadi miliknya sendiri. Bahwa dia telah menemukan hal yang paling berharga baginya itu...

...cinta.


If I can, I want to end while shrouded this like
Together, we concealed our pale selves; the moon is hiding, too


Ketika bibir mereka terpisah, Adriano sama sekali tidak tahu kenapa dia melakukan itu. Hell, dia bahkan tidak mengerti kenapa dia juga ikut memeluk Tsuzuki, sangat dekat hingga dia merasakan nafas hangat Don Vongola itu di wajahnya. Dan dia sendiri tidak tahu kenapa pipinya basah. Aneh, apa ini yang membasahi pipinya. Air? Air dari mana?

“Itu air mata...” gumam Tsuzuki. Dan Adriano merasakan tangan Tsuzuki membelai pipinya, menyeka air itu. “Syukurlah. Karena kamu memang manusia, bukan?”

Adriano hanya terdiam, tidak menemukan kata-kata untuk membalas perkataan Tsuzuki itu. Dan sekali lagi, dia pun menutup matanya, membiarkan dirinya istirahat di pelukan Tsuzuki. Entah sejak kapan mereka telah berpindah ke sofa di kamarnya, tapi Adriano tetap saja tidak peduli. Entah kenapa, beban di hatinya seperti telah banyak berkurang. Masa bodoh dengan orang yang mencari Tsuzuki atau apa. Malam ini...

...dia tidak ingin malam ini berakhir. Terus, begini saja terus. Berhentilah waktu...


How many nights did I come to love since then?
In the sea of dependence, I forget to even breathe


Ah, benar juga, sudah berapa lama ya...? Entahlah. Tidak tahu. Dia tidak terlalu memperhatikan, sudah berapa tahun, berapa bulan, berapa hari sejak malam itu. Malam di mana akhirnya mereka berdua menerima satu sama lain. Malam yang, selalu Tsuzuki anggap paling berharga baginya. Karena dia pada akhirnya bisa memberikan dirinya pada orang yang sangat dicintainya. Dia mungkin kecewa, karena selama ini hampir tak pernah mendapat respon dari Kano. Tapi Adriano menjadi segala yang dia miliki. Bukan penggani.

Makanya...tidak apa-apa...

Karena itulah, dia tidak melawan ketika Adriano perlahan membuka kancing bajunya. Ya, tidak apa-apa. Karena dia yang dipeluk Mist Guardian itu, dia yang dicintai itu bukanlah Don Vongola. Bukan Vongola the Eleventh. Hanya Sawada Tsuzuki seorang.

Dan dia tidak ragu, memberikan ‘Sawada Tsuzuki’ itu kepada Adriano...


Even with your captivation, you only leave behind a tepid warmth
In the art of knowing when to quit, I dislike your conceited kisses


”Adriano, perkenalkan ini Liu Ming!”

Adriano hanya menatap gadis China itu dengan pandangan tidak tertarik sedikitpun. Yeah, untuk apa dia peduli? Dia sama sekali tidak menganggap buruk antusiasme Tsuzuki saat memperkenalkan gadis itu. Heh, toh di hadapan umum memang dia harus berlaku seperti ini. Dia boleh menjadi kekasih Tsuzuki di malam hari, tetapi di saat seperti ini dia tetaplah harus mempertahankan imejnya yang biasa. Setan Mist dari Vongola. Dingin, misterius, tak tersentuh.

Dan akibatnya dia jadi tidak sadar apa yang dikatakan para petinggi Vongola lainnya di sekitarnya. Tidak, dia tidak sadar apa yang mereka bicarakan. Dia memang samar-samar mendengar kalau gadis itu berasal dari Cavallone Famiglia. Dia mendengar kalau beberapa orang berkomentar betapa cocoknya gadis itu dan Tsuzuki berjalan bersama, berkomentar bahwa mereka pasangan yang serasi. Ini tentunya membuat Adriano mendengus perlahan. Hmp. Serasi? Yeah, dan dia sedang mencium Kano, begitu?

Tapi tetap saja, dia tidak bisa menghilangkan firasat buruk itu. Ketika menatap Tsuzuki yang tertawa sambil bersenda gurau dengan Liu Ming, dan melihat kalau gadis itu tersenyum kecil pada sang Don Vongola.


Don't leave me alone, perceive and color me already
What words will slip out of your room?
Being confused, falling asleep- Will you tell me about things beyond those?
Only the moon is looking at the sighs lost in the questions of smiles
When the next long needle points to the ceiling
You won't be around anymore; I won't need you anymore


Sesuai dugaan...

Firasat buruk pada umumnya selalu benar, eh? Dan sekali lagi dia benar.

Pertunangan. Pernikahan. Antara Tsuzuki dan gadis itu, Liu Ming. Sudah diumumkan, tinggal menunggu pelaksanaannya. Hahaha. Seharusnya Adriano sudah menduga ini. Bodoh sekali bukan, kalau dia berpikir dia akan memiliki Tsuzuki untuk selamanya. Tidak akan pernah. Seharusnya dia tahu itu sejak awal. Tsuzuki milik Vongola. Dan Vongola tentunya menginginkan Tsuzuki memiliki keturunan. Akankah Tsuzuki memiliki keturunan jika bersama Adriano? Tidak. Tidak akan. Dan tentunya, melihat gadis itu sangat dekat dengan Tsuzuki, tentunya para petinggi Vongola bisa dengan mudah memutuskan ini. Dan Tsuzuki tentu harus menurutinya.

Adriano tahu dia tak punya hak untuk marah. Sedikitpun tidak. Sekalipun dia ingin berteriak, ingin mengatakan bahwa Tsuzuki adalah miliknya, tidak ada yang bisa dia lakukan. Dia ingin mengklaim pemuda itu, menyatakan miliknya, untuk selamanya. Tapi tidak. Benang merah yang menghubungkan mereka berdua tidak pernah eksis sejak awal. Dan sekalipun memang pernah ada, benang itu telah diputuskan oleh rantai yang meliliti kalung anjing di leher Tsuzuki, bonus dari para Vongola.

Karena itulah, pada malam itu, Adriano tidak mengatakan apa-apa dari hatinya. Tidak mengutarakan kekecewaannya, dan juga tidak meminta Tsuzuki untuk tetap bersamanya. Tidak berteriak supaya Tsuzuki tidak meninggalkannya. Yang ada hanyalah senyum yang selama ini berkembang menjadi miliknya. Senyum yang jahil, namun sekaligus menakutkan. Ala kabut yang menakjubkan namun juga menakutkan.

“Mulai sekarang, kita kakak dan adik, eh?” kata Adriano, datar sekalipun dia tersenyum.

Tsuzuki mengangguk dalam diam, tidak mampu menatap Adriano.

“Apa? Tidak perlu takut begitu,” kata Adriano pelan. “Sejak awal, kau tidak pernah milik siapa-siapa bukan? Hanya milik Vongola.”

“A...aku...”

“Salah?” tanya Adriano sekali lagi.

Tsuzuki tidak dapat menjawab. Karena dia tidak mampu menemukan sangkalan bagi pernyataan itu. Karena dia sendiri tahu bahwa itu benar. Bahwa dia memang tidak akan pernah menjadi milik siapapun, kecuali Vongola. Bahkan sejak dia lahir. Ya, bahkan sejak dia lahir.

“Kalau begitu, ya sudah,” lanjut Adriano. “Anggap saja apa yang selama ini kita lakukan hanyalah suatu kesalahan yang seharusnya tidak kita lakukan, adikku tercinta. Addio...my Love...”

Tsuzuki menggigit bibirnya, menggelengkan kepalanya.

“And welcome home, my brother.”

Dan benang merah itu memang tidak pernah eksis sejak awal. Di antara mereka, memang tidak.

Namun terhubung...dengan orang lain...
Adriano Constanza
Adriano Constanza
Teacher
Teacher

Jumlah posting : 791
Join date : 11.11.08
Age : 37
Lokasi : Behind you

Student Data
Flame Type: Mist
Rank: A
Shoutout: "...where are you...?"

Kembali Ke Atas Go down

Kembali Ke Atas


 
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik