Vongola Indo
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

Fragment of Memories: Rieska

3 posters

Go down

Fragment of Memories: Rieska Empty Fragment of Memories: Rieska

Post by Rieska Verriert Sat Feb 21, 2009 11:46 am

OOT:
....Fine.
Ini adalah pertama kali saya mencoba membuat one-shot dengan jumlah kata kurang dari 2.5k. And personally saying... I don't think I give my all on this one Neutral *Lagian, ngetiknya tengah malam, 3 hari jadi pula*

...Tapi kalau tidak demikian, idenya takkan tersampaikan dalam bentuk tulisan = =

Oh, tentu saja~~ Casting:
- Rieska Verriert
- Schubert von Edelmann
- Angel (Sudah izin dari PMnya)
- Hilmann Verriert (Ayah Rieska)

Nyem. Selamat menikmati omake tak bermutu ini




Was it really just a fragment of memory?
Your presence lingers still, even now.





Rieska Verriert suka taman.

Consigliere Cavallone ini menyukai bagaimana angin segar membelai pipinya dengan lembut, menggoyang-goyangkan helai rambut nya yang kaku, dan, yang paling penting, menyegarkan sanubarinya yang lelah akan pekerjaan sebagai seorang Consigliere—sekaligus sebagai seorang murid dari Don Girarde. Meskipun pada awalnya ia tidak menyukai ide belajar di sekolah mafia tersebut, asalkan ada tempat seperti ini di sana, Rieska tidak peduli. Di tempat inilah Rieska bisa melupakan apa yang ada di depan mata dan mengingat apa yang telah berlalu. Tidak, dia tidak melarikan diri dari tugas; Rieska Verriert hanya sekedar menghidupkan kenangan lama.

Mengingat sesuatu yang terlupakan, baik sekarang, esok, maupun nanti.

Rieska tampak berbaring di bawah pohon mapel yang rindang, dengan kedua tangan di bawah kepalanya. Sementara jas hitam yang biasa ia pakai dilepas dan ditaruh secara asal dekat pohon. Kemana pun ia memandang, ia hanya melihat hamparan rumput dengan bangunan sekolah di kejauhan. Murid-murid yang lain tampaknya tengah menghadiri pelajaran mereka masing-masing.

Sesekali, pria bermata biru tersebut menguap malas. Seperti inilah yang namanya relaksasi—tak ada yang mengganggu, bahkan tidak ada komite disiplin yang siap memergokinya karena telah tidur di taman. Ah, mereka tidak mungkin menangkapnya karena itu bukan? Memangnya sejak kapan tidur di taman meupakan aksi yang melanggar peraturan?

Rieska membuka matanya. Mata birunya lansung menemukan langit biru berawan—langit luas yang tak terbatas, endless. Cahaya matahari di siang hari menyengatnya tanpa ampun. Di lain pihak, cahaya itulah yang menerangi langit yang ia suka. Rieska hanya tersenyum sinis.

’10 tahun telah berlalu, namun tak pernah sekali pun kita bertemu kembali.’

Mata mafiosso tersebut kembali menutup, sementara pikirannya kembali mengembara.




“Yo, Rieska!”

Seorang bocah berambut jabrik merenggut ketika seseorang yang sangat ia kenal memanggilnya. Namun demikian, ia tetap berpaling ke arah asal suara. Anggar yang ada di tangan kanannya dapat ia gunakan sebagai senjata, kalau-kalau orang yang sudah memanggilnya bernita untuk macam-macam. Kaos putih yang ia pakai tampak basah oleh keringat—sebuah tanda bahwa Rieska tengah melatih kemampuannya dalam beranggar.

Matanya tertuju pada pintu masuk ruang latihannya untuk bermain anggar. Ia tidak kaget melihat sesosok bocah, hampir setinggi dirinya, dengan rambut hitam yang rapi disisi ke belakang. Bocah itu mengenakan sebuah jas hitam formal. Sungguh, pakaian tersebut sangat kontras dengan umur si bocah. Melihat hal ini, raut wajah Rieska segera berubah drastis. Rengutan wajahnya menghilang, digantikan dengan sebuah senyum jahil yang perlahan berubah menjadi tawa.

“Apa yang kau pakai, Schubert? Kostum badut?” Rieska bertanya kepada bocah berambut hitam tersebut disela-sela tawanya. Instan, senyum yang terlukis pada wajah Schubert segera berubah jadi rengutan.

“Hei! Kamu juga seharusnya memakai pakaian ini, tahu!” Schubert mendengus kesal sebelum menyilangkan tangannya, jelas kesal karena sahabatnya tertawa. “Tapi tunggu! Rupanya sang tuan muda lebih tertarik berlatih anggar daripada menemui ayah. Hebat sekali, Ri-es-ka~” Schubert tersenyum jahil. Sekali lagi, ia menyindir nama dari tuan muda keluarga Verriert.

Dalam hitungan detik, ujung anggar milik Rieska sudah berada di leher Schubert. Rieska menatap tajam ‘sahabatnya’ seakan memberikan sinyal pada Schubert kalau ia sudah melewati garis batas kesabaran Rieska.

Di lain pihak, Schubert tahu kalau Rieska hanya bermain-main. Melihat tindakan yang diambil Rieska, Schubert hanya tersenyum simpul—baiklah, sepertinya Rieska Verriert ingin menantang seorang anak berayah mafia.

“Maumu apa sih? Sebuah pertarungan?” Schubert bertanya jahil. Ujung anggar milik Rieska masih berada tepat dibawah dagunya. Ia bahkan bisa melihat bilah anggar tersebut bergetar—wajar, apalagi dengan bilah pedang setipis itu.

Rieska pun menarik anggarnya dari leher Schubert setelah bocah di depannya berbicara. Ya, ia menginginkan battle. Sekarang. Schubert von Edelmann akan melawannya, atau ia akan meminta ayahnya untuk memerintahkan eksekusi pertarungan tersebut.

Tanpa berbicara sepatah kata pun, Rieska berjalan ke arah vas besar di sudut ruangan. Di dalamnya terdapat kumpulan anggar yang biasa ia pakai untuk berlatih dengan ayahnya. Rieska mengambil satu buah, membalikkan badan ke arah dan Schubert, dan melemparkan anggar yang ada di tangan kanannya. Schubert tanpa kesulitan menangkap benda yang terlempar dan hanya menelitinya sebentar.

“Hoo...Kau yakin aku perlu memakai anggar yang ini? Kalau bladenya patah, aku tidak mau menanggung lho.” Schubert berkomentar pendek sebelum mengambil ancang-ancang berpedang. Rieska pun melakukan hal yang sama. Sang tuan muda tersenyum cukup sotoy.

“Justru itu. Aku akan mematahkan blade anggar itu. Jadi, bersiaplah untuk kalah!”

Schubert nyengir. Satu alasan mengapa ia bisa akrab dengan Rieska adalah karena sifatnya yag tidak mau kalah—ia sendiri juga tidak mau kalah. Kuda-kuda Schubert berubah perlahan, sebelum akhirnya ia berjalan melingkar. Ia melihat Rieska melakukan hal yang sama. “Lalu... Kalau kau yang menang, apa tawaranmu?”

“Berhenti memanggilku dengan nama Rieska.”

Mendengar ini, Schubert tertawa kecil. Namun demikian, ia tetap menjaga pertahanannya—ia tidak pernah tahu kapa Rieska akan menyerang. “Oke! Tapi bagaimana caranya aku memanggilmu, then? Kalau aku memakai nama keluargamu, jelas-jelas yang akan menengok tidak hanya kamu, namun ayahmu juga!”

Rieska membalas senyum Schubert, sebelum melafalkan nama yang ia maksud.

“Panggil aku Koya.”




Consigliere Cavallone itu membuka matanya sekali lagi. Ia mendapati dirinya menatap langit biru yang sama. Dalam benaknya, ia tahu siapa yang menang dan kalah pada hari itu. Bilah anggar yang dipegang oleh Schubert patah—bilah pedang kesayangannya patah. Hingga akhirnya, Schubert tidak pernah sekalipun memanggil namanya dengan Rieska. Schubert akan selalu memanggailnya Koya... atau Ri, atau Eska, atau seenak maunya; meski demikian, ia tidak pernah memanggil tuan muda tersebut “Rieska”.

“Haah... Benarkah sudah 10 tahun?” Rieska bergumam pendek. Dengan posisinya yang sekarang—seorang Consigliere—akan mudah baginya untuk memerintahkan beberapa Soldato untuk mencari Schubert. Ia sudah meminta mereka, namun tak ada hasil. Pria ini sudah meluangkan waktu istirahatnya untuk mencari berkas-berkas berkaitan dengan ayah Schubert (yang juga seorang mafiosso) di bagian killed-in-action. Ia memang menemukan namanya, namun tak ada satu pun petunjuk yang terseirat.

‘Kembali ke titik nol.’

Rieska pun perlahan berdiri. Angin sepoi-sepoi kembali menyapanya dengan lembut. Sekali lagi, Rieska hanya bisa terbawa oleh ketenangan yang disediakan oleh alam.

...dan membawanya ke salah satu pecahan memori yang tersembunyi.




“Jangan bercanda!”

Satu teriakan yang keras cukup untuk memekakan telinga Hilmann Verriert. Meski demikian, pria tuan tersebut tetap menjaga ketenangannya, seakan ia sudah mengantisipasi rekasi semacam ini dari Rieska. Sang ayah tahu kalau Rieska takkan menahan dirinya kali ini. Anaknya sudah dapat berpikir untuk dirinya sendiri dan Hilmann tidak bisa melakukan apa pun untuk menghentikannya.

...Benarkah itu?

Hilmann Verriert—kepala keluarga Verriert yang terobsesi dengan membuat jaringan kuat dengan mafia-mafia lain di Italia—hanya menatap anaknya dengan datar. 15 tahun telah berlalu semenjak ia menggendong pemuda berambut jabrik ini. Kini, sang anak bahkan sudah bisa mengutarakan pikirannya sendiri.

Ah, apa ini pertanda bahwa ia mulai tua? Yah, meskipun rambutnya sudah ubanan, Hilmann bisa mengatakan bahwa dirinya masih tampan, setidaknya bagi seorang pria berumur 47 tahun.

“Kau akan masuk ke Cavallone untuk menggantikan Sigbar von Edelmann. Ini semua adalah bagian dari rencana kita untuk mengamankan posisi kita di mata Cavallone.” Hilmann Verriert hanya berujar terus terang, datar, dan tegas. Dialah kepala keluarga—dialah yang mengatur bagaimana bawahan keluarganya beraksi. Jika ia bertitah bahwa anaknya harus menjadi bagian dari mafia, maka Rieska harus—atau ia tidak akan lagi dianggap sebagai bagian dari keluarga, meskipun Rieska adalah penerus valid dari nama Verriert.

Hening.

Pemuda berambut jabrik tersebut mendadak berlutut. Hilmann bahkan dapat melihat bagaimana tubuh anaknya gemetar.

“Tidak mungkin... Paman itu... tewas?” Rieska bergumam agak pelan. Namun, Hilmann dapat menangkap kata-kata yang keluar dari Rieska dengan jelas. Tidak hanya itu—ketidakpercayaan dan... kemarahan.

Rieska menengadah ke arah ayahnya. Mata birunya berkilat berbahaya—apa yang dikatakan ayahnya sungguh hal yang bodoh dan tidak berperasaan.

Tapi, apa yang bisa ia lakukan? Karena mendengar kata-kata ayahnya, ia sekarang mempunyai tujuan yang pasti. Semenjak Sigbar von Edelmann—dan juga anaknya—pergi pindah ke Swiss, Rieska tidak pernah bertemu dengan Schubert lagi. Selama 5 tahun, mereka tak pernah bersua—selama itu juga, Rieska tidak pernah mendengar nama ’Koya’, seakan nama tersebut sudah dicuri oleh pria itu.

Tidak ada yang pernah memanggilnya Koya selain Schubert von Edelmann.

Dan sekarang, ayahnya tengah memberikannya kesempatan untuk menyelidiki hal-hal bersangkutan dengan Sigbar von Edelmann, dengan masuk ke Cavallone. Ya, tentunya Rieska pasti dapat menemukan informasi tentang paman itu... juga tentang Schubert.

Lantas, mengapa ia masih merasa bimbang? Bukankah ini kesempatan yang baik?

Rieska Verriert menunduk. Ia kalah dalam permainan ayahnya—bahkan setelah beberapa lama mencoba untuk memberontak dari kontrol ayahnya, pemuda itu tak perbah berhasil. Hilmann Verriert jelas tahu apa yang diinginkan anaknya. Dengan sedikit manipulatif, ia menaruh keinginannya segaris dengan keinginan Rieska. Voila! Anaknya akah melakukan apa yang ia inginkan, atas nama keinginannya.

Rieska sadar akan hal tersebut, Sang tuan muda hanya menggertakkan gigi, jelas-jelas kesal dengan bagaimana ini semua terjadi.

“............... Baiklah.” Perlahan, Rieska berdiri. Kepalanya masih menatap lantai—entah apa ekspresi yang disembunyikan oleh wajah pemuda itu, Hilmann takkan pernah tahu.

“Aku, Rieska Verriert, akan melaksanakan tugas yang kauberikan, sesuai dengan kode etik yang telah ditentukan jauh sebelum aku lahir—kode etik yang telah menjaga keluarga kita dari kehancuran.”

Nada Rieska sangat datar. Ketika Hilmann menatap pemuda di depannya, ia tersenyum—di depannya, Rieska menengadah dengan sorot mata tanpa emosi.

Sorot mata seorang pembunuh.

‘Rieska akan menjadi aset penting dalam keluarga. Kau akan merasa bangga akan anak kita, Kaede.’ Hilmann, masih tersenyum, mengambil rapier yang tersandar di samping kursinya dan membuka sarungnya. Pria tua yang tengah duduk di kursi menggenggam rapier tersebut kemudian berdiri. Beberapa kali, ia mengayunkan rapier tersebut ala Perancis sebelum memasukkannya ke dalam sarung pedang.

“Silenziosa Pioggia. Itulah nama rapier ini. Kau akan mengetahui kegunaannya nanti, setelah kau masuk ke Cavallone.”

Dengan kata-kata tersebut, Ayahnya melemparkan rapier tersebut ke arah Rieska. Tanpa pikir panjang, Rieska menerima rapier itu. Ketika ia menengadah sekali lagi untuk melihat wajah ayahnya, pria tua tersebut tersenyum puas.

Rieska merasa mual.




Sekali lagi, Rieska membuka matanya. Kali ini, pemandangan yang segera terekam dalam kepalanya bukanlah langit, namun hutan kecil yang terhampar di kejauhan—jangan lupakan bangunan Don Girarde, tempat ia bersekolah. Matanya segera tertuju pada Silenziosa Pioggia yang tersarung dengan rapi di sisi kirinya.

Senjata yang paling ia benci, sekarang menjadi senjata yang terpaksa ia andalkan.

“Bodoh. Bahkan setelah banyak tahun berlalu, satu-satunya keinginan yang terpenuhi adalah keinginan ayah.” Rieska mendengus, kesal. Sampai sekarang, ia belum berhasil menemukan Schubert von Edelmann—setidaknya, tidak ada seorang pun dari murid-murid Don Girarde yang mirip dengannya. Schubert sudah hilang, tak berbekas.

Ayahnya pasti sudah tahu kalau semua akan berakhir demikian.

“Meskipun begitu...” Rieska menatap kosong tangan kanannya. Sungguh, setelah bertahun-tahun percaya bahwa ia telah menghindar dari plot permainan ayahnya, ia baru saja sadar bahwa apa yang telah ia lakukan sudah berada dalam perhitungan.

“Aku takkan menyerah.”

Dengan kata-kata tersebut, Rieska hanya tersenyum. Sebodo amat dengan apa yang direncanakan ayahnya—sampai ia dapat menemukan Schubert, ia takkan menyerah.

....Barulah ia sadar akan kepalanya yang mendadak terasa berat.

‘....Eh?’

Sebelum Rieska dapat berkomentar lebih jauh, ia melihat kepala burung menatapnya, terbalik. Ia tidak perlu menunggu beberapa detik untuk menyadari bahwa box animal milik seorang Cavallone tengah duduk di kepalanya. Lussuria

Rieska merenggut—bahkan setelah beberapa lama berada di Cavallone, Merak albino bernama Lussuria masih senang menganggap kepalanya sebagai sarang? Yeah, right...

“Ah! Di sini kau rupanya, Consigliere!”

Rieska menghela napas panjang dan berpaling ke arah sumber suara. Ia tidak heran melihat mafia bawahannya—dan juga fans Lussuria yang seorang Vongola.

“Singkirkan burung ini! Kau jelas tahu bahwa dia senang hinggap di kepalaku kan?” Rieska hanya menunjuk burung merak yang tengah duduk di kepalanya. Alisnya terangkat melihat ekspresi enerjetik yang biasa Angel berikan—hanya saja, kali ini ekspresi tersebut tampak bercampur antara senang dan kepuasan.

“Tapi, tapi!! Hanya Lussuria yang bisa mencari Koya dengan sangat ‘akurat’!” cengiran Angel hanya menuai rasa kesal dari Rieska. Tapi sang tuan muda tidak membalas perkataan Angel. Ia hanya menghela napas panjang, sebelum berpaling dari Angel. Hebat. Seorang Cavallone seperti Angel menamakan box animalnya atas nama seorang Varia. Tapi, hey! Itu terserah yang punya kan?

“Jadiiii, apa yang dilakukan seorang murid seperti Consigliere-sama lakukan di sini?”

Rieska terdiam sebentar. Dalam benaknya, ia kembali mengingat kedua hal sebelumnya. Ya, karena hal-hal tersebutlah ia bisa berada di sini—ia belum menemukan Schubert, namun ia ada bersama keluarganya di Cavallone.

Bukankah ia tidak menyesal masuk ke Cavallone?

Rieska hanya tersenyum simpul, kemudian menghadap Angel. Sesi istirahatnya sudah selesai—sudah waktunya ia menyelesaikan urusan-urusan sekolah dan keluarga.

“Aku beristirahat. Tidak bolehkah?”

...

Tidak, Rieska tidak menyesal menjadi anggota Cavallone—meskipun hal tersebut adalah kehendak ayahnya, meskipun dengan begitu ayahnya dapat memanfaatkannya, dan...

...meskipun ia belum menemukan sahabat lamanya.

Rieska tidak menyesal.





I have chosen my path.
...and I have no regret.

~ FIN


Terakhir diubah oleh Rieska Verriert tanggal Mon Feb 23, 2009 11:43 am, total 1 kali diubah
Rieska Verriert
Rieska Verriert
Student
Student

Jumlah posting : 60
Join date : 30.01.09
Age : 32
Lokasi : Under the Blue Sky

Student Data
Flame Type: Rain
Rank:
Shoutout: Rachmaninoff, Segundo Concerto... Beginnen.

http://www.kecoakuning11.wordpress.com

Kembali Ke Atas Go down

Fragment of Memories: Rieska Empty Re: Fragment of Memories: Rieska

Post by Haruki Suzuki Mon Feb 23, 2009 10:44 am

Keren ceritanya, Mun!
Deskripsinya juga bagus dan personaliti-personaliti karakternya juga terasa.
Rieska/Schubertnya ditunggu yeha *diinjek*
Haruki Suzuki
Haruki Suzuki
Student
Student

Jumlah posting : 785
Join date : 17.12.08
Age : 32
Lokasi : Somewhere high, looking for UFO

Student Data
Flame Type: Thunder
Rank:
Shoutout: "MY WAY OR NO WAY!"

Kembali Ke Atas Go down

Fragment of Memories: Rieska Empty Re: Fragment of Memories: Rieska

Post by Voidy Wed Feb 25, 2009 1:00 pm

masmun~

hua~~ kok ries berasa sentimentil ya di sini?
apa perasaan saia aja? heheheh tapi bagus banget~
karakternya berasa..

tapi... kok bapaknya berasa manipulatif banget yah?
cocok jadi dandy boss~
Voidy
Voidy
Student
Student

Jumlah posting : 974
Join date : 14.11.08
Age : 29

Student Data
Flame Type: Kumo/Cloud
Rank:
Shoutout: ...

Kembali Ke Atas Go down

Fragment of Memories: Rieska Empty Re: Fragment of Memories: Rieska

Post by Sponsored content


Sponsored content


Kembali Ke Atas Go down

Kembali Ke Atas

- Similar topics

 
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik