Vongola Indo
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

Fragment of Memories: Schubert

4 posters

Go down

Fragment of Memories: Schubert Empty Fragment of Memories: Schubert

Post by Schubert von Edelmann Mon Feb 23, 2009 8:12 pm

OOT:
Fragment of Memory... lagi! ngakak guling2
Ya, saya hobi membuat sekuel dengan tema berbeda (namun pola yang mirip? Hmm...). Kali ini ceritanya tentang Schubert :D

Lalu, casting!
- Schubert von Edelmann
- Sigbar von Edelmann (Ayah Schubert)
- Hilmann Verriert (Kepala keluarga Verriert)
- Natasha Verriert (Anak sulung keluarga Verriert)
- A brief mention of Rieska Verriert.

Sangat menerima kritik dan saran... Tolong usahakan untuk tidak mengkritik dengan tajam sampai-sampai melewati garis batas sebuah peraturan tak tertulis bernama etika. Terima kasih~ :D

[Dipisah menjadi dua part karena panjangnya... Urghh = =]



Had everything been turned to dust,
You, on the other hand, had not.






Sotto Capo Hare dari Millefiore.

Schubert von Edelmann bukannya tidak suka dengan gelar tersebut. Namun, setiap kali ia melihat Sun Mare Ring di jari kanannya, barang tersebut terus menerus mengingatkan bahwa ia tengah bekerja untuk dua orang—Capofamiglia dari Millefiore dan kepala keluarga Verriert. Hanya mengingat kedua hal itu membuatnya gelisah—sebagai seorang pembunuh bayaran andalan keluarga Verriert, ia sudah terlalu terikat dengan Millefiore Famiglia. Tapi hey, sepertinya Hilmann Verriert menganggap hal tersebut wajar. Itu artinya ‘boleh’ bukan?

Ruang asramanya, di suatu sore musim semi, tampak remang-remang karena api perapian. Meskipun musim semi sudah datang, Schubert tetap menyalakan perapian yang ada di ruang asramanya—udara memang belum terasa hangat pada saat pergantian musim seperti ini. Belum lagi hujan yang mengguyur daerah Don Girarde tanpa ampun. Hmm, sudah seharusnya ia menyalakan perapian bukan?

Schubert mengenyakkan dirinya sekali lagi di kursinya dan menatap dalam perapian. Sesekali, Ia bisa melihat buncahan api berloncatan di atas campuran batu bara dan kayu—suatu hal yang sebenarnya wajar, namun berbahaya. Kalau ada saja yang meninggalkan perapian dengan keadaan seperti ini, Schubert yakin sang pemilik takkan pernah melihat barang-barangnya masih utuh. Syukur-syukur kalau kebakaran tidak terjadi atau dapat dihindarkan. Namun, siapa yang tahu?

Sekaligus, Schubert membuat catatan kecil: selalu ingat untuk mematikan perapian, meskipun bukanlah kau yang menyalakannya.

Keadaan ruangan yang hening agak membuat Schubert bosan. Teman–teman satu ruangannya belum kembali dari entahlah-apa-yang-mereka-lakukan. Entah Schubert harus merasa bersyukur akan keheningan ini (dengan demikian, ia bisa menghabiskan waktu untuk berpikir) atau justru mengutuknya karena keheningan identik dengan ‘tidak melakukan apa pun’.

“GAAAAAH! Aku bosan!!!” Schubert hanya berteriak tidak puas. Ingin sekali ia melakukan sesuatu—apa pun itu. Saat matanya melihat Glückseliges Tod—senjata andalan miliknya—pandangannya terhenti. Kedua senjata tersebut merupakan bentuk dari harga dirinya; harga diri yang diberikan oleh orang yang, mungkin, paling ia benci.

Meski demikian, ia masih bisa hidup dengan hal tersebut bukan?

Perlahan, tangan kanan Schubert mengambil salah satu pistol tersebut sementara tangan kirinya mengambil kain dari kantong baju. Tanpa menunggu apa pun, tangannya pun mulai membersihkan Glückseliges Tod.

Sementara pikirannya mengembara pada bagaimana ia memperoleh senjata itu.



Target Practice.

Schubert von Edelmann menyukai bagaimana suara gunfire yang seakan merobek telinga dan bagaimana menariknya saat ia bertanya-tanya apakah ia menembak sasaran dengan tepat. Sekarang pun juga, ketika dengan lembut tangan ayahnya mengarahkan ke mana Schubert seharusnya menembak.

Sigbar von Edelmann merupakan sosok yang penuh kasih sayang namun tegas—dua kualitas yang jarang ada pada seorang mafia. Ini semua karena kematian istrinya dalam baku tembak antar Mafia di suatu perumahan kumuh di Italia. Schubert masih berumur 4 tahun ketika semua itu terjadi.

Sekarang pun demikian.

“Arahkan ini ke sana...” Tangan Sigbar, sembari mengarahkan handgun yang dipegang Schubert ke arah target—sebuah papan target. “...Kemudian posisikan dirimu dengan benar.”

Sigbar melepaskan tangannya dari senjata Schubert sebelum memeriksa bagaimana postur tubuh anaknya. Ia hanya tersenyum—makin hari, Schubert dapat memposisikan dirinya dengan baik.

“Bagus. Ah, tapi cobalah kamu hentikan gemetaran tanganmu itu. Karena itulah tembakanmu meleset terus.” Sigbar tersenyum geli—bagaimana pun juga, Schubert masih berumur 10 tahun. Tentunya, senjata berat seperti handgun yang tengah ia pegang bukanlah hal yang mudah untuk dikuasai dalam waktu singkat. Di lain pihak, ia ingin agarnya dapat menguasai senjata tersebut—hidup dalam mafia tidak mengenal usia ataupun batas gender.

Sigbar dapat mendengar bagaimana Schubert tertawa kecil ketika ayahnya menyadari kesalahan kecil—namun fatal—yang ia buat. Ia pun tak bisa menghentikan dirinya untuk tersenyum. Namun, mau tidak mau ia harus kembali serius.

“Sudah, jangan tertawa terus!” Sigbar kembali menegaskan. Sang bocah pun berhenti terkikik dan kembali berkonsentrasi pada target yang harus ia tembak. Tangannya masih sedikit gemetar, meskipun tidak separah sebelumnya. Bocah tersebut menunggu aba-aba dari ayahnya untuk menembak.

Sigbar pun tersenyum—kalau pun Schubert masuk dan menjadi tentara bayaran Swiss, ia tidak terlalu khawatir. Apabila anaknya terus berlatih dengan kecepatan seperti ini, ia yakin Schubert dapat menjadi anggota dalam waktu relatif singkat. Namun, kalau pun Schubert menginkan kehidupan yang lain, Sigbar takkan ikut campur... kecuali kalau anaknya ingin menjadi polisi. No way. Ia tidak akan membiarkan Schubert menjadi polisi. Hal tersebut akan mempersulit kehidupannya sebagai seorang Mafia. Malah, mungkin saja Cavallone akan menyuruhnya untuk membuang anaknya.

“Ayah, kapan aku menembak?”

Sigbar tersadar dari lamunannya. Matanya dapat melihat bagaiamana Schubert agak kesusahan mengangkat pistole tersebut (maklum, ia meninggalkannya agak lama) Ah, kasihan anak itu—USP yang ia pegang setidaknya bermassa satu kilogram dan ia sudah memegangnya sekitar setengah menit, bahkan tanpa bergidik sekali pun. Sigbar pun menghela napas, panjang.

“Tembak.”

Bunyi tembakan Schubert memekakan telinga sang bocah, namun ia tidak bergeming. Ia suka bagaimana bunyi ‘dor’ yang keras keluar dari senjatanya. Tidak terbesit dalam pikirannya bahwa bunyi itulah yang telah membawa ibunya pergi dari dunia.

Sigbar pun tersenyum kecut—sang ayah, sebaliknya, tidak menyukai bunyi itu.

Pria tersebut pun berlutut di sebelah bocah tersebut. Senyum tulus sekaligus pahit tertulis jelas di wajahnya. Sementara Schubert, meskipun dirinya baru 10 tahun, dapat mengerti adanya kesan tidak enak yang muncul dalam benak ayahnya—seakan-akan ayahnya tersenyum untuk pergi.

“Kemampuanmu bertambah tiap hari, Schubert. Namun ingatlah!” Tangan Sigbar menggenggam kedua tanga Schubert yang masih menggenggam gun. Matanya masih menatap dalam Schubert, supaya anak itu selalu mengingat kata-kata ayahnya. “Benda ini hanya boleh digunakan jika ada yang membutuhkan pertolonganmu! Jangan lupakan itu, Schubert!”

Kata-kata tesebut keluar dari mulut ayahnya setiap kali ia selesai latihan. Schubert bahkan bosan mendengar hal tersebut. Lagipula, ia sudah tahu maksud dari kata-kata ayahnya bukan?

Sigbar kembali menatap anaknya dan mengharapkan Schubert untuk bereaksi positif. Ia melihat sang bocah mengangguk sekali, meski dengan wajah tersenyum. Itu saja sudah cukup—sisanya, Sigbar hanya akan menyerahkan pelajaran bagi Schubert pada kehidupan yang ia pilih.

Sigbar von Edelmann pun tersenyum lega sebelum kembali berdiri. Senyum yang ia berikan sekarang melebar. Ia pun menarik senjata yang ada di tangan Schubert, mengeluarkan peluru yang ada, dan memasukkannya ke dalam kantong jas hitamnya. Pria tersebut pun tersenyum sebelum menawarkan tangannya ke arah Schubert. “Ayo kita beli es krim.”

Schubert dengan senang hati menerima ajakan ayahnya. Tanpa ia ketahui, itulah kali terakhir ayahnya mengulang kata-kata tersebut pada Schubert.




Schubert von Edelmann tidak bisa tersenyum.

Bagaimana ia bisa tersenyum ketika ia melihat peti mati ayahnya terhampar di depannya. Belum lagi, yang menghadiri proses penguburan ayahnya tercinta hanyalah beberapa kerabat dekat (Schubert bisa menghitung jumlah mereka dengan jari). Orang-orang Cavallone itu menginginkan pemakaman serba rahasia.

Persetan mereka.

Di antara mereka, Schubert menyadari adanya Hilmann Verriert. Ah, sudah berapa lama ia tidak bertemu dengan paman itu. Hanya saja, ia sedikit heran—seharusnya anak itu juga datang bukan?

Namun sekarang, ia hanya melihat seorang wanita (lebih tua darinya, tentunya) memakai gaun hitam tanpa dengan wajah tanpa simpati. Rambut pirangnya panjang dan membuatnya elok untuk dilihat. Namun, tatapan matanya yang datar membuat ciut nyali Schubert. Ia pun segera berpaling dari sang gadis (ia yakin gadis tersebut sempat menatap tajam dirinya) dan memfokuskan pandangannya pada Hilmann Verriert.

Schubert dapat melihat raut kecewa dan kesal jelas tertulis di wajah pria yang memimpin keluarga Verriert itu. Ah, ya—ayahnya dan Hilmann memang sahabat juga. Sesekali, paman itu pasti meminta pertolongan kepada ayahnya tentang berbagai macam hal. Schubert anak yang baik (meskipun kadang terlalu hiperaktif) dan tidak pernah menanyakan apa yang dilakukan ayahnya. Tidak, ia percaya ayahnya. Kalau Sigbar von Edelmann dapat mempercayai seseorang, maka Schubert pun dapat mempercayai orang itu. Maka, Schubet pun dengan aman menarik kesimpulan; Hilmann Verriert dapat dipercaya. Seperti itulah logikanya.

Namun, hati kecilnya berkata lain.



Setelah proses selesai, Schubert tetap diam di tempatnya. Hujan terus mendera dirinya tanpa ampun. Meski hujan tampaknya sangat tidak friendly, Schubert tetap menghiraukannya. Namun, ia sendiri cukup terkejut ketika sepertinya bukan hanya ia sendiri yang tersisa. Hilmann Verriert dan wanita itu masih di sana, namun wajah mereka tidak menunjukkan rasa iba—tidak, wajah mereka menunjukkan bahwa ada sesuatu penting yang mendesak dan perlu didiskusikan.

‘Beraninya mereka...’

“Schubert von Edelmann, anak dari Sigbar von Edelmann... betul?” Yang memecah keheningan di antara mereka bukanlah Hilmann—tidak seperti yang diperkirakan oleh Schubert. Pria dari keturunan von Edelmann tersebut bergidik. Suara wanita itu seperti hantu yang hendak menariknya ke liang kubur—datar, dingin, dan tidak berintonasi. Tanpa sadar pun, Schubert mengangguk.

Ia dapat melihat bagaimana Hilmann maju. Tangan kanannya membawa sebuah tas kecil yang keliahatan agak berat. Gemericik air yang menyentuh payung kepala keluarga Hilmann terdengar menyebalkan, entah mengapa.

Pria itu berhenti di depan Schubert dan menaungi mereka di bawah payung hitam miliknya. Tangan kanannya menyodorkan tas yang ia pegang ke arah bocah tersebut.

“Ini dari ayahmu.”

Schubert menerima ‘pemberian’ Hilmann dengan mulut ternganga. Mengapa orang ini memiliki barang ayahnya? Dengan Schubert membuka apa yang ada di dalam tas; sepasang pistol Heckler dan Kosh USP buatan Jerman—semi-automatic.

Senjata yang selalu ditunjukkan ayahnya dengan bangga; senjata yang dijanjikan akan menjadi milik Schubert, suatu saat nanti. Sekarang, gun tersebut ada di tangannya, namun ayahnya telah tiada. Sebuah sindiran yang amat kental. Schubert pun hanya bisa terdiam bisa ketika seisi dunia tengah mengolok-olok dirinya dengan satu barang itu.

Kembali, suara Hilmann membuatnya terperangah.

“Sigbar memintaku untuk menjagamu. Karena itu...” Sesaat, Hilmann mendelik ke arah wanita yang tengah bersamanya. Ia bisa melihat si wanita mengangguk. “...sejak saat ini, kau akan bekerja padaku.”

Kata-kata Hilmann terdengar jauh. Ayahnya telah mempercayakan anaknya pada seorang Verriert. Hal tersebut tidak membuatnya kaget. Fakta bahwa ayahnya memang telah tiada yang telah membuatnya kosong.

Di siang hari yang hujan, Schubert berteriak sejadi-jadinya pada dunia yang telah mengambil ayahnya.


Terakhir diubah oleh Schubert von Edelmann tanggal Mon Feb 23, 2009 8:18 pm, total 1 kali diubah
Schubert von Edelmann
Schubert von Edelmann
Student
Student

Jumlah posting : 42
Join date : 11.02.09
Age : 32
Lokasi : in mein Haus mit den grunen Park

Student Data
Flame Type: Sun
Rank: B
Shoutout: Those Macaroni Schotels are MINE!! ...Eh, you want some? Sure.

http://www.kecoakuning11.wordpress.com

Kembali Ke Atas Go down

Fragment of Memories: Schubert Empty Re: Fragment of Memories: Schubert

Post by Schubert von Edelmann Mon Feb 23, 2009 8:14 pm

OOT: 2nd part




Schubert von Edelmann berhenti membersihkan salah satu pistolnya. Glückseliges Tod a.k.a Blissful Death—itulah nama yang ia berikan pada senjatanya—senjata ayahnya. Setelah itu pun, ia akhirnya bekerja di bawah keluarga Verriert dan berperan dalam berbagai macam hal—mulai dari mata-mata, sampai seorang pembunuh. Sebagai ganti dari pekerjaan… hina tersebut, Schubert memohon pada Hilmann agar tidak memberitahukan posisinya pada Rieska Verriert—sebuah permintaan kecil yang, dengan mudahnya, dapat dikabulkan pria tua itu.

Mengapa ia melakukan semua itu? Karena pada dasarnya, sebagaimana pun ia mengingkarinya, Schubert berhutang pada kakek tua itu. Belum lagi, bayangan wanita berekspresi kosong tersebut selalu menghantuinya—yang telah mengajarinya bagaimana hidup dalam dunia gelap.

“…Natasha Verriert.” Schubert bergumam rendah. Tangannya kembali menggosok Glückseliges Tod. Sesekali, ia menengok ke arah jendela kamar. Di kejauhan, ia dapat melihat langit yang perlahan menghitam—sore hendak berganti menjadi malam. Kemudian, butiran-butiran air mulai menempel di permukaan kaca.

Hujan.

Kali ini, tangannya melepas Glückseliges Tod. Ia segera berdiri dan langsung berdiri di depan jendela. Pikiran Schubert kembali teringat pada figur wanita berambut pirang, sekitar 4 tahun lebih tua darinya.




“Kau akan pergi?”

Suara Schubert penuh dengan pertanyaan dan rasa heran. Setelah 5 tahun ayahnya meninggal, ia pun bekerja di bawah kekuasaan Verriert—dan langsung belajar dari anak pertama keluarga tersebut. Namun, di koridor gelap dengan lampu redup antara Hall utama dengan ruang kerja Hilmann, Schubert melihat orang itu berjalan. Kalau pun Schubert tidak menyapa wanita itu, ia yakin sang wanita hanya akan melewatinya tanpa bersuara.

Wanita itu berhenti sebentar. Perlahan, wanita itu berpaling ke arah Schubert, masih dengan tatapan datar yang sama 5 tahun yang lalu. Di antara kilatan petir yang tengah menyambar, Schubert dapat melihat butiran-butiran air yang menempel di rambutnya. Sepertinya wanita tersebut baru saja hujan-hujanan.

“Aku harus. Rieska baru saja diperintahkan untuk masuk ke mafia.” wanita tersebut menjawab pertanyaan Schubert, masih dengan nada dan intonasi suara yang sama. Meski demikian, reaksi yang diperlihatkan oleh wanita tersebut tampak berbeda kontras dengan reaksi Schubert; mata pria itu membesar mendengar kabar dari wanita itu.

“Jangan bercanda, Natasha!”

Suara Schubert, diikuti oleh kilatan listrik di luar gedung, ditutupi oleh bunyi guntur yang keras. Meski demikian, Natasha tidak bergidik. Barulah ia sadar akan merahnya mata Natasha.

‘Dia... menangis?’

Sebelum Schubert dapat berkomentar labih lanjut, Natasha Verriert sudah keburu memalingkan wajahnya dari Schubert.

“Ini sudah di luar kendaliku, von Edelmann. Aku harap kau bisa mengerti.” Natasha merespon, sekuat tenaga mencoba meredam rasa getir dalam suaranya. Schubert tidak menyadari sebuah kantong yang ada di tangan kanan wanita tersebut, setidaknya sampai cahaya kilat sekilas menerangi koridor temaram tempat mereka berbincang.

Tanpa peringatan lebih lanjut, Natasha Verriert melemparkan kantong kecil tersebut ke arah Schubert. Pria tersebut, meskipun telat bereaksi, mampu menangkap benda tersebut... sebuah belati. Yang membuatnya lebih syok adalah fakta bahwa belati tersebut tidak lain sebuah Poignard.

Vivace.

“Apa maksud dari semua ini, nona muda?” Schubert bertanya pelan, tidak percaya dengan benda yang ada di tangannya. Vivace bukanlah sebuah pisau yang bisa dilempar kemana saja. Alih-alih, Poignard tersebut adalah sebuah bukti bahwa Natasha Verriert adalah penerus untuk keluarga Verriert. Membuangnya sama dengan membuang identitas orang tersebut sebagai seorang Verriert.

“Tugas terakhirmu, Schubert von Edelmann...” Natasha berbalik ke arah Schubert sekali lagi. Suaranya kembali sedingines. “...adalah untuk menyerahkan Vivace kepada Rieska Verriert.”

“Tapi ini sama saja dengan pengkhianatan terhadap—!” Schubert terdiam ketika ujung pedang Natasha berada di leher Schubert. Beginilah caranya untuk mendiamkan pria di depannya. Tidak seperti Rieska, Schubert von Edelmann tahu bahwa Natasha Verriert tidak akan segan-segan membunuhnya di tempat—lagipula, akan selalu ada yang dapat menggantikan tempatnya.

“Ayah sudah memperhitungkan semua ini. Ia sudah merencanakan bagaimana kita semua akan mati, bagaimana kita semua bekerja, bagaimana semua ini akan berakhir—semuanya. Kita hanya bermain di telapak tangannya, Schubert. Kalau aku bisa merusak permainannya, meskipun sebentar, aku akan lakukan.”

Natasha menatap mata Schubert. Mata hitam tersebut tampak syok—bukan karena ujung pedang yang ada di lehernya, namun karena Natasha baru saja menyampaikan ketakutannya yang terdalam. Schubert sudah sejak lama merasakan bahwa semua yang ia lakukan sudah... direncanakan. Hal yang sama terus menerus muncul di benaknya sejak hari kematian ayahnya.

Hening, sampai akhirnya Schubert mendengar suara riuh dan panik dari sekitar bangunan—sesuatu tentang sang nona muda yang tiba-tiba menghilang. Kemudian, Schubert menyadari satu hal yang paling jelas: Natasha Verriert hendak kabur, malam itu juga.

“Ah, sudah ramai ya...” sang wanita berkomentar pendek sebelum menekankan bilah pedang miliknya ke leher Schubert. Darah pria tersebut mulai mengucur, meskipun sedikit. “Lalu, misimu yang kedua... Pantau terus gerak-gerik Rieska. Kalau perlu jadilah anggota...”

“...Millefiore Famiglia.”




Schubert membuka matanya. Hujan di luar tampak berubah menjadi badai. Hebat. Hanya dengan sebuah cuaca buruk, ia kembali mengingat salah satu dari beberapa memori yang... dapat dibilang mengejutkan. Luka pedang yang ditinggalkan Natasha mungkin sudah hilang. Namun, cara wanita itu meninggalkannya masih membuatnya merinding.

Kalau Natasha tidak pergi saat itu juga, mungkin Schubert sudah mati di tangan wanita itu. Atau mungkin, malah sebaliknya; Natasha akan memaksa Schubert untuk ikut... berkhianat.

Schubert von Edelmann menghela napas panjang.

Ia kembali berpikir; kepada siapakah ia menaruh loyalitas? Natasha yang meminta ayahnya untuk mendidiknya menjadi seorang pembunuh bayaran profesional? Hilmann yang telah memenuhi permintaan ayahnya? Rieska yang telah menjadi penerus ofisial dari keluarga Verriert? Atau Millefiore?

“...Millefiore Famiglia.”

Schubert mengepalkan tangannya. Informasi yang diberikan oleh Natasha salah besar. Ia yakin ini ulah dari Hilmann sendiri, dengan membocorkan informasi yang salah. Pada kenyataannya, Rieska Verriert berusaha untuk mendapatkan posisi tinggi di Cavallone. Sekarang, ia sendiri agak kaget mendengar kabar bahwa Rieska baru saja menjadi Consigliere. Bagus untuknya bukan?

Schubert menggeleng. Semua itu sudah direncanakan oleh Hilmann Verriert. Entah apa tujuan orang tua itu, Schubert tak pernah membayangkan.

Ia sendiri masih heran; mengapa dirinya tidak segera keluar dari Millefiore, kemudian bergabung dengan Cavallone untuk memantau Rieska lebih dekat? Jawabannya sebenarnya sederhana—bersama Rieska di Cavallone sama dengan bertemu dengan Consigliere tersebut hampir setiap hari; sesuatu yang hampir tidak mungkin bisa ia lakukan tanpa rasa malu.

“Lagipula...” Schubert sekali lagi menatap Sun Mare Ring yang ada di jarinya. Ia memiliki tanggung jawab besar sekarang—setidaknya, pertama kali dalam kehidupannya. Ia memimpin, meskipun hanya sebagai Sotto Capo.

“..........Aku juga bisa memantau gerakannya, dari Millefiore ini.” Schubert tersenyum. Banyak yang ia akan tanyakan pada Natasha nanti—ia akan tanyakan hal-hal tersebut ketika mereka berdua bertemu kembali. Saat itu juga, Schubert akan membayar ‘hutangnya’.

Ya. Lebih baik begini. Setidaknya ia bisa ‘bermain’ tanpa terpengaruh ‘kekangan’ Hilmann Verriert.

Mungkin.




Even as time goes by,
You did not falter.
Only ‘you’remained.

~ FIN





OOT: Yeah, I know it’s crappy... dan plotnya kecepatan Neutral
Idenya hampir hangus ditengah buku biologi sih... Sad( *ahlesyaan*
Schubert von Edelmann
Schubert von Edelmann
Student
Student

Jumlah posting : 42
Join date : 11.02.09
Age : 32
Lokasi : in mein Haus mit den grunen Park

Student Data
Flame Type: Sun
Rank: B
Shoutout: Those Macaroni Schotels are MINE!! ...Eh, you want some? Sure.

http://www.kecoakuning11.wordpress.com

Kembali Ke Atas Go down

Fragment of Memories: Schubert Empty Re: Fragment of Memories: Schubert

Post by Haruki Suzuki Wed Feb 25, 2009 6:04 am

Ah, sapa bilang crappy? Bagus kok!
Perasaannya Schubert sama Natasha bisa kerasa di sini. Deskripsi juga oke.
Umm...apalagi ya, gue gak gitu bisa kritik sih ^^a
Jadi menurut gue, overall udah bagus.
Haruki Suzuki
Haruki Suzuki
Student
Student

Jumlah posting : 785
Join date : 17.12.08
Age : 32
Lokasi : Somewhere high, looking for UFO

Student Data
Flame Type: Thunder
Rank:
Shoutout: "MY WAY OR NO WAY!"

Kembali Ke Atas Go down

Fragment of Memories: Schubert Empty Re: Fragment of Memories: Schubert

Post by Rieska Verriert Wed Feb 25, 2009 8:27 am

It vwas supposed to be more than that! Sad(

Tadinya mau buat ekstra scene. Namun, pas ngeliat jumlah halaman MS Word... langsung mikir...

'Damn, Am I going to make another ultra-long story?'

oTL

Padahal mau noyba bikin drabbles, tapi gak pernah berhasil Sad(

..... *lirik kritik*
Wokeh! Danke, conte~ xDb
Rieska Verriert
Rieska Verriert
Student
Student

Jumlah posting : 60
Join date : 30.01.09
Age : 32
Lokasi : Under the Blue Sky

Student Data
Flame Type: Rain
Rank:
Shoutout: Rachmaninoff, Segundo Concerto... Beginnen.

http://www.kecoakuning11.wordpress.com

Kembali Ke Atas Go down

Fragment of Memories: Schubert Empty Re: Fragment of Memories: Schubert

Post by Voidy Wed Feb 25, 2009 1:09 pm

tunggu... jadi natasha itu sebetulnya baik ya?
ato ada maksud lain?
ato papanya yang menyusun samting more denjeres?

arg... ga ngerti! saia uda bingung...
lagian bisanya kasih informasi palsu yang menjebak gitu~ waih! keren!!

manipulatif handal memang harus kaya gitu yah~ mesti penuh percaya diri layaknya... layaknya apa saia lupa sih~

deskripsi... good
chara ... perfect!

bagus! saia suka kok~
Voidy
Voidy
Student
Student

Jumlah posting : 974
Join date : 14.11.08
Age : 29

Student Data
Flame Type: Kumo/Cloud
Rank:
Shoutout: ...

Kembali Ke Atas Go down

Fragment of Memories: Schubert Empty Re: Fragment of Memories: Schubert

Post by Rieska Verriert Mon Mar 02, 2009 2:43 pm

Natasha baik? Humm, maybe... dia sempat nangis kan pas disuruh kabur? well... Tunggu saja di bagian 'FoM'nya Natasha. Hanya saja, 'FoM' Natasha baru akan dibuat setelah dia lulus jadi chara nanti... ngakak guling2

Waktu membuat Hilmann saja... saya sempat merinding memikirkannya. I mean, saya berhasil membuat chara semanipulatif dan sekejam ini? Oh-Mein-Gott....

...... and yes, saya langsung sujud syukur ngakak guling2
Rieska Verriert
Rieska Verriert
Student
Student

Jumlah posting : 60
Join date : 30.01.09
Age : 32
Lokasi : Under the Blue Sky

Student Data
Flame Type: Rain
Rank:
Shoutout: Rachmaninoff, Segundo Concerto... Beginnen.

http://www.kecoakuning11.wordpress.com

Kembali Ke Atas Go down

Fragment of Memories: Schubert Empty Re: Fragment of Memories: Schubert

Post by Sponsored content


Sponsored content


Kembali Ke Atas Go down

Kembali Ke Atas

- Similar topics

 
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik