Music Class ~Prelude~ (1st Grade and 4th Grade)

OOT : haren! itu boleh tapi bereriko semua, yang jelas tragedy mayat boleh dicoba sesekali~
~~~~~~~~

BRAKK!!

Wew~ Apa lagi ini? Seorang murid terlambat? Masih memegang kotak biola yang seharusnya di serahkan pada Miss. Camille namun benda yang melayang nyaris menimpanya kalau-kalau tidak ditahan dengan satu-satunya benda yang berada di tangannya. Apa lagi kalau bukan kotak biola.

BAKK

Percayalah. Bunyi tersebut sama dengan kabar buruk. Hasilnya kotak biola tersebut penyot dan bagaimana dengan biolanya?

"AKH!" Demi berteriak panik dan berusaha membuka kotak tersebut. Dengan catatan tambahan bahwa pria ini berjongkok di lantai terlebih dahulu. Kembali pada bagaimana dengan biolanya?

Masih utuh dan sehat walafiat. Syukurlah~

Demi kemudian menatap si pelaku. Wew~ Hermafrodit kah? (Maap Haren)

Hahh... Demi menghela nafas panjang kemudian kembali berdiri dan tidak lupa membereskan kotak yang rusak dan setengahnya adalah tanggung jawabnya. Setengahnya lagi? Salah Arisato M. Alweyd yang telah diperiksa dengan buku catatan murid yang sedari tadi ditinggalkannya.

"Sir. Arisato... Mungkin Saya perlu meminta pertanggung jawaban Anda untuk ini..." Katanya kalem sambli mengangkat kotak di tangannya tersebut.

"Temui Saya setelah pelajaran ini... Sekarang Anda sebaiknya memperhatikan partitur di belakang Saya ini dan karena tadi Saya sudah memainkan contohnya sebelum Sir datang... Saya tidak akan mengulanginya." Katanya sambil tersenyum penuh rencana tersembunyi.

~~~~~~
OOT : @carmen, biolanya masih bisa dipake
@haren, kalo mau kabur seusai pelajaran, saia ijinkan kok~

Setelah berkata demikian, Demi-sensei pun pergi sebentar ke suatu ruangan yang sepertinya adalah ruang penyimpanan alat2 musik sekolah, kemudian dia kembali dengan membawakan sebuah biola dan...

"Anda juga bisa memainkan piano kan? Atau Miss. Camille ingin tetap bermain biola?" Tanyanya memastikan.

Belum selesai (atau lebih tepatnya belum menjawab sama sekali) tiba2 seorang pemuda bishounen=)) datang terlambat ke kelas itu dan melempar (atau lebih tepatnya karena tidak bisa mengerem) kotak musik ke arah Demi-sensei. Dan Demi-sensei melindungi dirinya dengan kotak biola yang masih dipegangnya untuk diserahkan pada Camille sedari tadi...

Camille hanya tertawa kecil melihat gerakan yang seakan-akan diperlambat (Matrix Evolution) antara guru dan pemuda yang melempar kotak musik piccolo itu..Lalu dia kembali kepada guru itu dan diam sebentar ketika Demi berbicara dengan pemuda 'bishounen' itu=))

"Demi-sensei kan sudah mengambilkan saya biola, apa saya bermain biola saja? Atau sensei mau saya bermain piano?" tanya Camille hanya sekadar memastikan keinginan guru itu ingin melihat Camille bermain apa.

OOT:@Voi: Kalo uda dikasih tau Camille disuruh main apa, ntar langsung main aja kali ya?

Puppy...of Waltz?

Louise hanya terdiam menatap partitur yang ditunjukkan guru itu. Ah, lagu yang menurut orang-orang manis, tapi Louise sendiri tidak tahu mau berkomentar apa. Tepatnya, dia belum pernah memainkan musik ini. Mendengarnya saja belum pernah. Akan tetapi jarinya menari lincah di flutenya, seolah sudah tahu apa yang harus dilakukan. Louise pun menutup matanya, membayangkan partitur tersebut di kepalanya. Dan hembusan pertama keluar dari mulutnya, menghidupkan flute di tangannya...

Ah, nada ini...begitu familiar...

Dia memainkannya dengan lancar, namun pikirannya entah kenapa terbang ke tempat lain. Ke suatu tempat yang sama sekali lain, kenangan yang sungguh-sungguh berbeda. Kenangan yang selalu dia hargai, tidak pernah mau lepaskan...

Kenapa semuanya harus berubah...?

Papa dan Mama. Sebelum sekolah ini berdiri, Louise ingat betapa dekat dan hangatnya hubungan mereka berdua. Setiap malam, di depan televisi sebelum tidur, Papa akan memangku Verrine dan mereka berdua akan menceritakan sesuatu. Dan wajah Mama akan memerah, lalu Mama berusaha menutupi telinga Louise supaya tidak mendengar semuanya. Kalau mereka masih lanjut, Mama akan menjewer telinga mereka berdua. Dan Louise akan tersenyum melihatnya. Louise akan minta digendong Papa, lalu Verrine juga. Papa akan tertawa dan membawa Verrine dan Louise ke kamar dalam gendongannya, dan Mama akan ikut mengantar. Sebelum Louise tertidur, mereka akan mencium dahi Louise dan juga Verrine. Begitu. Selalu begitu...

Tapi semua itu hilang setelah sekolah ini berdiri. Papa jadi sangat sibuk, jauh dari Mama dan juga Louise. Papa, Papa, ke mana Papa sebenarnya pergi? Louise rindu malam-malam itu, Papa. Malam di mana kehangatan keluarga akhirnya Louise rasakan, ketika pada akhirnya Louise punya alasan lain untuk eksis selain untuk membunuh...

Ke mana...?

Pikirannya terhenti mendadak ketika nada yang dimainkannya berakhir. Matanya terbuka, dan dia sama sekali tidak sadar kalau dia telah memainkan satu lagu penuh tanpa berkata apa-apa pada gurunya. Whoa.

"...sudah kan? Begitu saja?" gumamnya untuk menutupi fakta pikirannya melayang ke tempat lain saat memainkan flutenya. Dia bahkan tidak menyadari bahwa Tsukiya memanggil Verriert dengan nama aneh, padahal biasanya dia terus mengawasi bocah itu.

OOT:Dirayu dikit deh kayaknya asyik=))
Alat musik: Viola dan Tenor Saxophone

Terlambat...

Raven berjalan dengan santai dengan membawa viola yang diangkat ke belakang bahunya (duh susah ngejelasinnya) walaupun tahu dia sudah sangat terlambat..apa boleh buat..tadi kan dia harus kembali dulu ke kamarnya untuk mengambil viola-nya ini. Kan tidak mungkin kalau dia membawa-bawa viola dalam pelajaran strategy? Raven kan agak malas orangnya..*dihajar Raven*

Raven pun memasuki kelas itu masih dalam keadaan terkantuk-kantuk, memang sudah biasa kalau yang namanya seorang Raven itu selalu terkantuk-kantuk...

Dia mendengar alunan musik flute di dalam kelas musik itu...

"Pelajaran benar2 sudah dimulai ya.." batin Raven melihat arah sumber suara itu berasal dari seorang gadis yang Raven kenal sebagai Louise A.Michelet, ketua komite kedisiplinan sekolah...

"Ah, Camille sudah datang toh?" batin Raven menatap Camille yang sedang duduk di salah satu bangku kelas musik itu dengan seorang pria berpakaian menyolok yang entah siapa itu....

Raven melihat kotak biola yang dipegang pria itu agak sedikit penyok dan wajah yang tidak asing lagi dikenal karena kecantikannya *shoot*, Sato...

"Ngapain dia..ah masa bodolah..." Raven pun dengan malas berjalan ke tempat duduk di samping Camille, tidak sadar bahwa pria berpakaian menyolok yang sedang berdiri di hadapan Camille adalah guru kelas musik itu.

OOT@Voi: Ntar kasih tau aja ke Raven kalau Demi guru dan bla..bla..bla dengan cara yang anda mau, terserah Raven mau diapain *evilsmile* *ditabok*

Aah... inikah yang dinamakan kemenangan? Senang rasanya bisa menampar wajah guru.musik.norak itu dengan benda paling buruk sedunia-- sebuah boneka kelinci je-lek. Yeeah.. tahu, kan? Benda berbulu--biasanya berbentuk hewan-- yang sering dikategorikan oleh orang-orang sebagai barang lucu. Bukankah pertama kali boneka dimanfaatkan sebagai media mengutuk orang? Itu kan menakutkan, apanya yang lucu, coba? Holy.. sh*t, sejauh mana pikiran manusia terkontaminasi sampai-sampai bisa mengambil kesimpulan bahwa boneka ituu-----sigh.. lupakan. Dan camkan baik-baik, Lune akan membunuhmu jika kau memberinya boneka. Dalam bentuk dan ukuran apapun. Tapi masalahnya adalah; adik kembar Lune termasuk golongan penggemar boneka. Sweet... bersyukurlah karena Lunar hanya dapat konsekuensi 'buang-benda-terkutuk-itu-kalau-mau-makan' saat ia kepergok main-main dengan bunnie.

Uh-huh, jadi, itulah alasan singkatnya. Sekarang, plushie sialan itu sudah tidak ada ditangannya lagi. Yeeah. Baguslah guru itu tidak melempar balik padanya. Bola mata Lune bergulir mengikuti kemana plushie itu akan disimpan. Dimana? Cough... belum sempat melihatnya, bubuk tabasco keburu menyebar memenuhi kelas. Geez.. entah siapa yang melakukan ini, yang pasti mengiritasi matanya. Sejenak, ia menutup matanya untuk menghindar efek menyebalkan tabasco. Entah apa yang terjadi setelah itu. Suara tangisan anak kecil, gumam-gumam tak jelas, dan rintihan-pilu bercampur aduk.

Apa yang muncul saat ia membuka mata? Pemuda mirip wanita yang pernah ditemuinya di danau tempo hari, dan guru norak berambut merah yang sedang bermain piano didepan sana. Pelajaran sudah mulai, rupanya.. hmm? Beberapa orang juga tampak sudah memainkan alat musik mereka masing-masing. Puppy of Waltz. Lune tidak menjamin kemerdu-an nadanya jika dimainkan lewat biola. Yah.. tapi tak ada salahnya mencoba. Eh.. etto.. wait, jadi pada akhirnya ia akan mengalah dan menerima pelajaran dari guru--err.. itu? Hmph. Jangan harap. Lune hanya ingin bermain musik, itu saja.

Ia mengeluarkan sebuah benda berwarna coklat tua dari tas besar didekatnya. Biola tua. Lengkap dengan senarnya yang panjang. Senar, sekaligus senjata tajam milik Lune satu-satunya.

Lune mengangkat biolanya, ia sempat melirik sekeliling untuk memastikan bahwa murid sekelas sudah mulai main. Siapa juga yang mau pamer dengan membunyikan alat musik sementara yang lain diam? Matanya berpindah pada layar partitur besar di depannya. Perlahan, lengannya mulai mengayun-- mengeluarkan bunyi gesekan biola dengan senarnya.

---

CMIIW =w=

OOT : Terserah anda mau digoda atau tidak… Anda yang memilih saja….
OOT 2 : Apa masing-masing bidang ada tesnya masing-masing?
Dapat berupa apa sajakah tesnya?
Apakah alat musik yang dipilih sebelumnya harus sudah dapat dikuasai atau yang akan diperdalam?

Bidang yang dipilih:
-Vokal
-Alat Musik (Piano)

-----------------------------------------------------------------------------------

Kelas Musik adalah kelas yang paling ditunggu-tunggu oleh Cassandra untuk pelajaran hari ini. Setelah pelajaran sejarah yang ternyata cukup menguras tenaga, pikiran, dan ingatannya, tentu Cassandra sangat mengharapkan bahwa kelas musik ini dapat menjadi obat penawar lelahnya untuk hari ini. Ternyata tidak banyak kesan yang didapat.

Diakui bahwa Cassandra sedikit terlambat dari yang dijadwalkan untuk masuk ke ruang kelas Musik. Hal ini dikarenakan Cassandra sedikit tersesat dan lupa dengan denah ruangan sekolah yang dibawanya sejak tadi pagi. Jam dinding yang terpasang di ujung dinding dari lorong menunjukkan sudah pukul 12.25 tepat. Dengan nafas yang berat dan terengah-engah karena berlarian disepanjang koridor, hanya untuk mencari ruang musik yang letaknya tidak diingat sama sekali oleh Cassandra, Cassandra memforsir lagi nafasnya untuk bisa sampai dan mengatur nafas didepan pintu menuju ruang Kelas Musik. Meskipun ia tahu dari neneknya bahwa keadaan seperti itu tidak akan membuat pikiran fit selama beberapa jam kedepan, tetapi tetap saja kecerobohan karena tidak mengingat denah sekolah yang sudah disiapkannya, harus mendapatkan hukuman yang setimpal. Mungkin saja Cassandra tidak sendirian yang terlambat selama itu.

Dengan nafas yang sudah sedikit teratur, Cassandra memberanikan diri untuk membuka pintu ruang Kelas Musik dan menaruh keberanian pada suaranya untuk menyapa

“Selamat siang! Saya Cassandra dari kelas satu. Maafkan atas keterlambatan saya!!” Sahut Cassandra cepat ketika baru membuka pintu.

Ketika melihat isi dari ruang Kelas Musik tersebut, suasana kacau tergambar dengan sangat jelas. Mulai dari Alat Pemadam Kebakaran yang rusak berat, bau Tabasco dan bumbunya yang berceceran di lantai, seseorang yang mirip dengan Sawada Tsuzuki – dono, Louise Michelet – dono, Sawada Tsukiya – dono yang sedang menangis tersedu-sedu, beberapa penghuni kelas lain yang asing dengan Cassandra, dan seorang Bapak Guru tampan playboy dan berambut merah.

“Tsukiya – dono! Ada apa yang terjadi?” Serbu Cassandra dimuka pintu ketika melihat Tsukiya – dono masih bersisa jejak air mata di pipinya.

-------------------------------------------------------------------------

OOT lagi : Maaf saya terlambat sekali baru memasuki ruang kelas musik! Maaf kak Demitri!!
OOT lagi 2 : @ Sawada Tsukiya : berhubung saya bergabung pada keluarga Vongola, mohon bantuannya untuk RP-nya dan maaf jika saya ada banyak kesalahan.

Mati! Banyak banget yang nanya...
sori kalo OOT nya kepanjangan...
@Carmen, terserah kan situ yang main... saia hanya kasih pelajaran apa adanya...
yah... suka2 mood situ lah~ intinya, selanjutnya terserah anda (ngikut iklan tapi lupa iklan apa) eniwei... seperti pada post pertama saia jelaskan pianonya ada 2 jadi suka-suka situ sih~ ho-oh langsung main aja yah~
@raven, saia cek di lessons regis... situ ga ngambil kelas musik... kalo mau ambil ntar saia tambahin di daftar saia... dan situ edit postnya di regis yah~
@Cassa, ga papa, baru nyadar pas saia PM yah~
pada tes, bidang yang dikuasai akan diminta untuk dimainkan sebisanya... seperti yang sudah saia bilang, semakin banyak bidang yang dikuasai akan semakin menambah nilai karena ada poin plusnya... jadi saat tes memainkan satu alat musik saja sudah dinilai baik dan semakin banyak yang bisa dimainkan semakin baik pula nilainya.
tes berupa semacam gladi resik, saia sih kepikiran macam kontes untuk acara besar yang dimainkan seluruh kelas musik... tapi rasanya mustahil... jadi tesnya cukup begini saja: seperti memainkan apa yang sudah dikuasai dengan lagu yang dilatih dan akan dinilai. tes diperbolehkan lebih dari satu bidang.
misalnya hanya bisa memainkan biola, boleh memainkan 3 lagu(maksimal 3 lagu) untuk nilai yang dicapai.
jika ketiga bidang dikuasai, boleh melakukan semuanya dengan tambahan cuma 5 performance saja maksimalnya. Singkat kata, satu vokal atau alat musik atau taruin maksimal 3 performance
jika bidangnya lebih dari 1, 5 performance maksimal.
pada saat memilih bidang yang dikuasai... seharusnya sudah bisa kan, tentu saja akan diperdalam, kecuali yang bersangkutan menginginkan untuk memperlajari bidang baru. Misalkan sudah bisa piano, ingin belajar flute... dengan catatan tambahan... kursus privat bersama guru mesum ini... mau? (PM sendiri ogah sih)

sudah jelas? ato mau nanya lagi teh? (saia mabok jawabnya... takut pada ga ngerti)
~~~~~~~~~~~

Miss. Camille kembali bertanya padanya, dengan senyum sumringah mengembang bagai bunga merekah (tunggu sebentar! Apaan ini? *hahh* Lupakan!) Demi meletakkan biola tersebut di atas meja dan meraih tangan Miss. Camille kemudian mencium punggung tangan tersebut. "Apa pun yang dimainkan Miss, Saya dengan senang hati mendengarnya~" (Wo-ho! Akhirnya fisikal flirt! Mau muntah ah...)

Sesungguhnya Demi masih ingin menikmati waktu-waktu menggoda gadis muda ini namun terdengar suara merdu namun pilu yang ternyata adalah suara Flute yang dimainkan oleh Ketua Komite Kediplinan tersebut. Indah dan lancar, namun perasaan yang mengalir tersebut... Ah... Demi mendengarkan dengan seksama. Menangkap setiap rasa dan sukma yang terpatri pada untaian melodi yang mengalun. Musik memang luar biasa.

Gadis tegar tersebut sudah selesai memainkan nada tersebut dan seolah tidak terjadi apa-apa, dia hanya bergumam seperti balas menantang sang Guru. Pria ini hanya tersenyum lembut, ternyata tetap seorang gadis kecil biasa. "Ehem~ Permainanmu bagus Miss. Michelet. Sungguh bagus. Penuh perasaan... Tapi.... " Demi berhenti sebentar dan menatap sang Gadis lebih dalam lalu tersenyum lembut. "Saat pertengahan lagu, perasaanmu berubah-ubah dan tidak menentu. Seharusnya kenangan indah yang Miss. miliki tidak mengingatkan Anda pada kenangan buruk lainnya..." Katanya lembut dengan niat menghibur meski gadis tegar tersebut pasti lebih suka bertindak tanpa diatur-atur olehnya. Tapi setidaknya pria ini sudah mengatakan apa yang dirasanya perlu.

Kemudian muncul seseorang bertampang super ngantuk dan bah kan tidak mengindahkan dirinya yang sudah sangat menyolok. Wew~ Tahukah kalian kenapa Demitri Hunter suka dengan warna merah? Karena warna tersebut membara dan membakar mata, kalau tidak mau dikatakan menusuk mata. Jadi singkatnya adalah, Demi suka diperhatikan. Kalau dicuekin oleh pria bertampang kurang darah tersebut rasanya darah naik ke kepala. Bukannya marah, tapi membuat sirkulasi otak lancar dan mudah menyusun rencana laknat. Duduk di sebelah Miss. Camille sama dengan dekat dengan guru mesum ini. Wew~ sekali lagi. WEW~

"Ehem... Sir. ...." Panggil Demi menggantung karena harus membolak-balik daftar murid sekali lagi untuk mencari datanya. Ketemu. "... Raven Ragnvald? Anda terlambat dan nampaknya tidak terlalu berniat mengikuti pelajaran yah~ Sepertinya Anda kurang tidur..." Katanya berkomentar asal-asalan. Lalu kembalilah senyum sumringah muncul di antara garis bibirnya. "Mungkin seorang pangeran harus mencium Anda supaya kutukan tersebut lepas~" Katanya sudah menyelipkan tangannya di dagu pria tersebut. Jemarinya sudah menyisir garis bibir yang akan dilahapnya dan perhatikan senyumnya itu. (Maap raven, ga nyampe fisik kok~)

Sekali lagi terganggu di tengah-tengah. Wew~ Suara biola yang digesek membuatnya melepaskan pria yang masih setengah sadar tersebut dan sedikit senyum menggoda untuknya. Bagus... Sudah berpengalaman. Demi memperhatikan melodi berbaris yang dimainkan tersebut tapi merasa permainannya sudah cukup, Demi membagi perhatinnya dengan 'korban'nya barusan. "Namaku Demitri, Guru kelas ini. Sebaiknya Anda mengingat hal tersebut baik-baik." Katanya mengancam atau memberi godaan lagi dengan senyum yang biasanya.

Untuk kesekian kalinya, pintu terbuka dan menampakkan sosok yang datang terlambat dan memberi salam padanya. Seorang gadis berambut pendek sebahu yang kelihatannya sopan. Namun gadis tersebut mencurahkan perhatiannya pada sang bocah yang menangis. Wew~ Perhatian sekali yah~

"Ehem~ Bagi yang terlambat harap memperhatikan partitur di belakang ini..." Katanya ramah sambil memperlihatkan partitur yang masih tergantung manis bersama proyektor yang menyala. "Mainkan lagu Puppy of Waltz ini dan Saya tidak akan memberi contoh bagi yang terlambat." Katanya sambil tersenyum.

"Ah... Sir. Mozartien... " Panggilnya pada si pemain biola. "Permainan yang bagus. Anda memang sudah berpengalaman. Semoga Anda tidak keberatan membantu teman Anda yang lain~" Katanya ramah dan tersenyum lembut, tidak menyadari bahwa pemuda tersebut akan bad mood karena kata-katanya. (Sengaja Lune, hehehhe)

~~~~~~
OOT : untuk yang digoda ato dibuat kesel, maap~
lagi pengen ngacau karena UTS menjelang! Pengen slash samting...

Hoeh~ Paman tidak menerima plester dari Lei. Lalu mengobati dirinya sendiri. Um... Sudahlah. Lei kembali memasukkan plester tersebut ke kantongnya. Sedangkan Chesire Cat dan Ros Rabitta duduk manis di pojok ruangan karena tidak ingin mengganggu penbuatnya tersebut.

Sedangkan teman sekelasnya yang seperti memiliki 1000 eskpresi, mulai dari menangis lalu berhenti lalu ceria. Hoeh~ Tidak mengerti. Lalu Paman sudah mulai pelajarannya. Uwah~ Puppt of Waltz! Salah satu lagu kesukaan Lei!

Eh? Ada beberapa orang yang terlambat datang. Juga ada yang sudah mulai bermain. Uwah~ Lei juga mau.

"Yeyy!! Lei juga mau main Piano~ Boleh kan Paman?? Boleh kan? Boleh kan?" Tanyanya bertubi-tubi tanpa jeda dengan kecepatan seperti pengetik super.

Lalu bocah ini meloncat ke satu bangku berhadapan dengan Grand Piano putih yang dimainkan Paman barusan. Dengan semangat dan ceria, jemarinya berdansa di atas tuts dan memainkan melodi tersebut seperti membayangkan anak-anak anjing berdansa waltz. Cengengesannya mengembang selama melodi tersebut dimainkan. Sepertinya betul-betul menikmati permainannya.

"Sudah~ Hihihih~" Katanya sambil mengakhiri permainan pianonya lalu melompat turun dari kursi dan kembali menubruk Paman dengan penuh semangat. "Bagaimana Paman?? Bagaimana? Bagus tidak?" Tanyanya penuh harap dan berujar seolah ada binar-binar di matanya sambil menatap Paman dengan penuh pengharapan.

Aha.

Valse by Chopin. Rieska sudah terbiasa mendengar lagu ini. Heck, ia bahkan mengiringi ibunya memainkan piano dengan biola. Namun, melihat ia hanya membawa klarinet. Mungkin ia akan mencoba bermain solo? Ide yang dibilang... cukup gila, sebenarnya.

'But in any case...'

Belum beberapa lama Louise selesai bermain, Rieska segera memainkan jari-jarinya pada klarinet yang ia pegang dan meniupnya. Memainkan full-version Valse dengan klarinet memang edan--maka itu, Rieska memainkan Valse yang sudah diimprovisasi bersama dengan ibunya dulu.

Terbesit dalam benaknya bayangan wajah ibunya yang kadang mempercepat tempo tanpa memberikan aba-aba terlebih dahulu. Pria tersebut tersenyum--meskipun ibunya telah menamainya dengan nama wanita, beliau telah mengajari bagaimana bermain musik, terutama...

...tanpa membawa perasaan gundah.

Selesai memainkan klarinetnya, Rieska tersenyum puas. Namun, tangannya tampak tidak ingin berhenti bermain.

...dan ia pun kembali memainkan satu lagu kembali--lagu yang mengenangkannya pada kakaknya.

---

OOT: Memory of the Moon by VaLSe *ngotot*

Wew~ Bocah yang sedari tadi diam saja sudah mulai ribut. Tanpa tanda setuju darinya, Lei sudah duduk di bangku dan memainkan Grand Piano tersebut. Nada yang ceria dan lancar sekali. Maklum. Selama Lei di kediaman Hunter anak itu sudah diajari secara langsung olehnya juga. Tidak perlu mendengar lebih lanjut. Permainan bocah itu sudah sering didengar olehnya, selalu ceria dan hangat.

Selesai. Dan sekarang bocah itu mengharapkan pujian darinya. Wew~ sudahlah. "Bagus... Selalu bagus kok~" Katanya ramah dan mengelus rambut anak yang memeluk kakinya tersebut. Menarik bocah tersebut agar duduk di tempatnya dengan benar.

Lalu terdengar bunyi Klarinet. Sir. Verriert. Wew~ Permainan yang sempurna. Sedikit improvisasi? Bagus~ Permainnya stabil tapi perasaannya tetap terasa. Hem... Bagus.

Memperhatikan tiap denting yang terdengar lalu dengan lembut. Setelah selesai hingga not terakhir, suara Klarinet tersebut tidak berhenti. Wew? Memory of Moon?

Hem... Padahal tidak pernah menyuruh untuk memainkan lagu lain. Sepertinya akan ada sedikit hukuman ringan. Wew~ Setidaknya sebagai guru harus bersikap tegas bukan...

"Ehem~ Sir. Verriert... Lagu yang indah. Tapi Saya tidak ingat pernah mengatakan untuk memainkan lagu yang lain... Puppy of Waltz. Lagu wajub untuk hari ini." Katanya tenang dan berwibawa. Lalu kembali tersenyum Demi mengelus Grand Piano hitam yang sedari tadi tidak disentuh. Lalu tutupnya terbuka dan memperlihatkan barisan tuts yang mengkilap.

"Sebagai hukuman untuk Anda. Maukah memainkan lagu barusan dengan Piano ini... Rasanya kasihan sedari tadi tidak ada yang memainkannya. Bersedia kah Anda untuk menjadi pemain pertamanya?" Tanyanya kalem.

OOT:@Voi: Okey!^_^ Yah..mau dimainin sama Rieska nih?
@Raven: iya ya? Kalo ga salah bukannya kamu ga ambil kelas ini?

Camille melihat Raven memasuki ruangan kelas musik itu dan mengambil tempat duduk di sebelah Camille, seperti biasa, dengan wajah kantuknya, mungkin dia itu memang mengalami anemia tingkat akut? tapi setahu Camille Raven tidak mengikuti kelas musik deh? Karena penasaran, Camille iseng saja bertanya pada Raven..

"Raven-kun, bukannya Raven-kun tidak ikut kelas musik ya? Apa jangan2 ikut?" menelengkan kepalanya seperti kebiasaannya selama ini kalau sedang bingung ato heran.

Demi meletakkan biola tersebut di atas meja dan meraih tangan Miss. Camille kemudian mencium punggung tangan tersebut. "Apa pun yang dimainkan Miss, Saya dengan senang hati mendengarnya~"

Camille hanya tersenyum manis saja tangannya dicium lembut oleh guru mesum itu, dia juga melihat Lei memainkan salah satu piano dengan semangat dan ceria sehingga...

"Terimakasih Demi-sensei! Kalau begitu..." Camille pun lalu beranjak berdiri, mengambil tempat di kursi salah satu piano yang tidak dimainkan oleh Lei.

"Lei, yang tadi bagus sekali lho! Bagaimana kalau kita bermain bersama-sama?" ajak Camille pada Lei lalu mulai memainkan duluan lagu 'Puppy of Waltz' itu dengan gemulai dan sama semangatnya seperti Lei.

OOT:@Demi: Kayak gini? Ntar kalo Lei mau diikutin juga langsung ikut aja jadi bisa main bareng ya?

Hihihihihi Paman memujinya dan mengelus rambut birunya yang halus. Senang sekali~

Hoeh~ Grand Piano hitam yang duduk manis sedari tadi akhirnya dimainkan oleh Kakak Camille, padahal Paman malah menyuruh Kakak berambut acak-acakan tadi untuk memainkannya. Ya sudahlah~

Lei senang sekali diajak main bersama. Paling menyenangkan kalau main bersama Kakak sih... Tapi bersama Kakak Camille pun menyenangkan.

"Iyah~ Ayo main sama-sama~" Katanya riang mengikuti Kakak Camille duduk di Grand Piano yang lain lalu memainkannya berbarengan dengan Kakak Camille.

Main lagi dan lagi. Hingga not terakhir sudah dimainkan. Hihihihi~ Tepuk tangan untuk mereka berdua. Tepatnya Lei bertepuk tangan duluan karen senang.

Plok plok plok plok

"Horey~" Ujarnya setengah berteriak dan melompat turun dari piano lalu mengajak Kakak Camille kembali ke kursi mereka kembali. "Kakak Camille hebat sekali~ Permainannya bagus~" Katanya dengan mata berbinar-binar.

~~~~~
OOT : @carmen, ya cukup~
pianonya sekarang kosong... keduanya sudah selesai bermain~

OOT:@Voi 'n Carmen: Iya, ntar tambahin aja aku ke daftar Demi, aku cuma lupa edit yang di lesson regis tapi aku emang masuk kesini. Sori sempet ngebingungin.

"Ehem... Sir. ...." Panggil Demi menggantung karena harus membolak-balik daftar murid sekali lagi untuk mencari datanya. Ketemu. "... Raven Ragnvald? Anda terlambat dan nampaknya tidak terlalu berniat mengikuti pelajaran yah~ Sepertinya Anda kurang tidur..." Katanya berkomentar asal-asalan.

"Ya, aku Raven Ragnvald...dan sekali lagi ya sekarang saya sangat mengantuk karena pembagian teman sekamar yang membuat saya tidak bisa tidur setiap malam.." balas Raven dengan nada dan sikap yang masih malas2an. Mau gimana lagi? Uda Raven emang tukang tidur, sekarang dia sekamar dengan 2 orang yang semuanya perempuan lagi?! Yah..sempurna deh ngantuknya si Raven=))

Lalu kembalilah senyum sumringah muncul di antara garis bibirnya. "Mungkin seorang pangeran harus mencium Anda supaya kutukan tersebut lepas~" Katanya sudah menyelipkan tangannya di dagu pria tersebut. Jemarinya sudah menyisir garis bibir yang akan dilahapnya dan perhatikan senyumnya itu.

Raven hanya diam saja ketika guru aneh itu meng-flirting dagunya, bukannya panik ato jijay seperti kebanyakn reaksi umunya ketika digituin oleh sesama jenis, Raven yang mungkin masih ga konek karena rasa kantuknya itu malah berkata...

"Kalau begitu..Sir mau mencium saya supaya saya terbangun?" ujar Raven tersenyum menantang masih dengan ras kantuknya itu. (haha, gimana tuh jadinya Demi? Ladenin aja kali? *ditabok Raven*)

"Namaku Demitri, Guru kelas ini. Sebaiknya Anda mengingat hal tersebut baik-baik."

"Akan kuingat..kalau bisa.." sahut Raven masih dengan senyum menantang pada guru itu.

"Raven-kun, bukannya Raven-kun tidak ikut kelas musik ya? Apa jangan2 ikut?" menelengkan kepalanya seperti kebiasaannya selama ini kalau sedang bingung ato heran.

"Heh? Yah, aku baru mendaftarkan diri sih....tapi aku memang masuk ke kelas ini kok" balas Raven tersenyum pada Camille.

Raven kemudian melihat Camille memainkan lagu 'Puppy Waltz' itu dengan semangat bersama dengan bocah cilik yang dia tidak tahu namanya..

"Tidak berubah ya..masih tetap bagus seperti dulu.." batin Raven diam2 tersenyum menatap Camille.

@raven, ya udah~ ga papa kok~
eniwei... serius nih kissnya?
~~~~~~~~

Hem? Wew~ Miss. Camille sudah mulai memainkan piano bersama bocah tersebut. Padahal tadi niatnya adalah Yah... karena diajak bermain bersama sih. Sepertinya mereka berdua sangat bersemangat. Dan sangat ceria.

"Bagus~ Terima kasih kalian berdua. Dan Lei~ Aku tidak memberimu ijin barusan. Selesai pelajaran nanti Aku perlu bicara denganmu." Katanya tegas. Meski punya hubungan keluarga tetap tidak boleh pilih kasih kan.

Semenata Sir. Ragnvald yang masih terlihat sangat ngantuk pun menjawabnya asal-asalan! Masalah ciuman loh~ Biasanya kalau orang normal tidak berbicara seperti itu kan... Yah~ Kecuali dia memang tidak normal.

"Hem~ Saya sih tidak keberatan~ Bagaimana dengan Anda sendiri?" Tanyanya lagi kembali mnyergap dagunya. Jika Ya jawabannya, tinggal serang kilat. Tunggu. Ini kan di kelas? Masih ada anak kecil, terlebih bocah polos asuhannya sendiri.

Wew~ Jangan dulu deh... Untuk kali ini lepaskan lah~ Dengan berbekal pemikiran-pemikiran tersebut, Demi melepaskan pemuda itu untuk kedua kalinya dalam sehari. Wew~ Tanggung jawab jadi Guru itu kadang merepotkan.

"Iyah~ Ayo main sama-sama~" Katanya riang mengikuti Kakak Camille duduk di Grand Piano yang lain lalu memainkannya berbarengan dengan Kakak Camille.

Camille hanya tersenyum senang ketika Lei mengikutinya bermain, dia pun kemudian berkonsentrasi kembali ke permainannya, seperti mengajak Lei untuk 'berdialog' dalam permainan piano mereka berdua.

"Horey~" Ujarnya setengah berteriak dan melompat turun dari piano lalu mengajak Kakak Camille kembali ke kursi mereka kembali. "Kakak Camille hebat sekali~ Permainannya bagus~" Katanya dengan mata berbinar-binar.

Camille tersenyum riang mengikuti Lei kembali ke kursi-nya tadi, lalu melihat tingkah dan kata2 Lei, Camille tertawa membalas...

"Terimakasih Lei! Lei juga bagus lho mainnya, padahal masih kecil, Lei hebat ya!" ujar Camille mengelus lembut kepala Lai (sori seenaknya)

"Bagus~ Terima kasih kalian berdua. Dan Lei~ Aku tidak memberimu ijin barusan. Selesai pelajaran nanti Aku perlu bicara denganmu."

"Yang tadi bagus kan Demi-sensei? Dapat nilai bagus ya" ujar Camille ceplas-ceplos saja pada senseinya itu. Mungkin Camille memang merasa bebas jika bersama dengan Demi-sensei.

Kemudia Camille melihat Raven yang digoda oleh Demi-sensei...

"Wew! raven-kun dan Demi-sensei hebat! (lho?)" batin Camille menatap mereka berdua dengan mata berbinar-binar seperti sedang melihat adegan percintaan sinetron di film2=))

@Raven: Mantep lu!

OOT : boleh juga sih privat sama orang cakep
Kak Demi terima kasih infonya!

---------------------------------

Cassandra yang menyadari bahwa keadaan kelas sekarang sedanglah dalam suasana ujian, segera menutup mulutnya dengan tangan kanan dan berlari lewat barisan terdekat dengan jendela kaca dan duduk di daerah belakang.

Ditengah-tengah berlarinya, Pak Guru menjelaskan :

"Ehem~ Bagi yang terlambat harap memperhatikan partitur di belakang ini..." Katanya ramah sambil memperlihatkan partitur yang masih tergantung manis bersama proyektor yang menyala.

"…mainkan lagu Puppy of Waltz ini dan Saya tidak akan memberi contoh bagi yang terlambat." Katanya sambil tersenyum.

Cassandra mengambil tempat duduk yang masih bersih dibagian belakang dan duduk sambil mulai memperhatikan proyektor yang ditunjukkan. Beberapa murid terlihat memainkan lagu dari partitur tersebut dengan lancar, penuh penghayatan, dan sangat baik sekali. Seakan tidak ada cela pada musik tersebut, sesuai dengan judulnya, Puppy of Waltz.

Ketika Cassandra bingung untuk harus memainkan Puppy of Waltz dengan cara seperti apa, Cassandra hanya bisa berkutat untuk menghafal bagian-bagian dari partitur tersebut dan berdoa agar tidak dites terlebih dahulu. Tetapi, pemandangan antara Pak Guru dengan seorang murid laki-laki yang mengantuk sedikit menarik perhatian Cassandra dan membuyarkan konsentrasinya.

Cassandra hanya bisa diam ketika melihat adegan-adegan yang masih jauh dari umurnya untuk menyaksikan. Refleks menutup matanya dan bersender pada kursinya yang masih dingin. Masih nekat untuk menyaksikan apa yang akan terjadi setelahnya, Cassandra yang penasaran membuka matanya perlahan. Mereka sudah tidak melakukan adegan yang hampir-hampir tersebut, membuat Cassandra bersikukuh mengingat-ingat permainan pianonya dengan kakeknya dulu.

Ghe. Pelajaran udah mulai ya?

Tsukiya hanya memasang tampang datar ketika ada seseorang yang menghampirinya. Menanyakan apa yang terjadi padanya. Aneh, padahal dia sudah berhenti menangis. Jadi apa yang ditanyakan perempuan kecil satu itu? Tsukiya tidak mengerti. Entah apa, pikirnya sambil membelai trumpet miliknya.

"Hah? Kenapa? Kamu siapa?" tanyanya bingung. Selain dengan para Guardians, dia memang tidak terlalu dekat dengan anggota Vongola. Dan Varia, tambahan.

Wah, Louise sudah mulai memainkan flutenya. Bagus memang permainannya. Tsukiya tahu kok kalau Louise memang hebat. Mengalahkannya hampir di segala bidang, kalau boleh dibilang begitu. Tapi kan itu wajar! Louise lebih tua dari Tsukiya. Bocah ini pun mengalihkan perhatiannya ke Koori-nya itu, mendengar dia memainkan lagu yang berbeda dengan yang ditugaskan. Dan juga diminta memainkan piano. Wew.

Eh iya... Trumpet Tsukiya kan perlu pengiring supaya suaranya indah. Maksudnya, tipe alat musik yang jauh lebih indah didengar kalau dimainkan dalam suatu harmoni. Jadi, Tsukiya menghampiri Consigliere Cavallone itu dan menarik celana pemuda itu, bagian tertinggi yang bisa dicapainya dengan tinggi badannya yang jauh lebih pendek itu.

"Main sama-sama?" tanyanya polos.

Tapi ada suatu adegan aneh...antara guru musik dan seorang murid. Dahi Tsukiya pun mengerut. Jiichan saja tidak pernah lagi sembarangan menyentuh tunangannya di depan umum... Woa, berani sekali guru ini... Dia tidak tahu ya kalau Louise ada di kelas? Dan dia tidak sadar kalau kemungkinannya besar bagi Louise untuk melaporkan ini ke Kepala Sekolah? Yah, kasihan deh si tuan gak sadaran... Tsukiya tersenyum licik, membayangkan adegan berdarah yang mungkin akan disukseskan Louise, cepat atau lambat.

Che.

Kalau bukan karena Guru-homo-yang-norak ini, pasti Kaito akan langsung kabur, tapi kalau kabur? mungkin pelajaran selanjutnya, nasib Kaito akan sama dengan Val dan Vel, menjadi Homo, ONOZ. Mendingan mati. Suicidal. Harakiri. Daripada disebut homo, iya kan? ahaha. Lagipula... Puppy of Waltz? cih, padahal Kaito kira bisa langsung belajar Rock, tapi... Oh well. Lebih baik mainkan versi Rocknya saja, ya? hohoho.

Oke, mulai memetik Gitarnya, Kaito duduk dikursi dengan menaruh kaki kanannya diatas kaki kiri, dan mulai memainkan gitarnya, sedetik-demi sedetik, musik mulai terdengar, jari-jari Kaito mulai memainkan kelincahannya diatas gitar, dan... selesai, over.

"So, ini cukup?" tanyanya kepada guru itu, dengan nada agak meremehkan.

Rieska melongo melihat kelakuan Demitri yang, bisa dibilang, tidak sesuai dengan keadaan kelas. Oke, sangat tidak sesuai! Bisa-bisanya seorang guru memberikan pengajaran yang menyesatkan pada anak muridnya? Tak sadarkah guru tersebut bahwa banyak murid kelas 1 yang memandang?

That's it. Demitri Hunter akan ada dalam daftar 'untuk diwaspadai' milik Rieska.

"Ehem~ Sir. Verriert... Lagu yang indah. Tapi Saya tidak ingat pernah mengatakan untuk memainkan lagu yang lain... Puppy of Waltz. Lagu wajub untuk hari ini."

Rieska tersenyum, kesal. Bukankah ini kelas musik? Yang penting bermain musik kan?

"Tapi... Saya sudah memainkan Valse tadi... Kecuali anda bisa memberikan alasan mengapa saya tidak boleh memainkan lagu lain setelah selesai dari lagu wajib itu." Consigliere Cavallone tersebut tersenyum, puas. Ia sebenarnya tidak penah tertarik dalam perdebatan. Namun, kalau perdebatannya in his favor, Rieska Verriert does not mind, at all.

"Sebagai hukuman untuk Anda. Maukah memainkan lagu barusan dengan Piano ini... Rasanya kasihan sedari tadi tidak ada yang memainkannya. Bersedia kah Anda untuk menjadi pemain pertamanya?"

Oke, ini kacau.

Tentunya, Rieska mempang sering melihat ibunya bermain piano. Namun, semua itu tidak berarti bahwa dirinya belajar untuk memainkannya! Sekarang, guru tersebut memintanya untuk memainkan alat musik yang tak ia kuasai? Ah, mungkin guru ini belum pernah mendengar sebuah nada lagu kematian bukan? Rieska dapat memainkannya dengan baik, asalkan diberikan instrumen yang tidak pernah ia pelajari untuk pertama kali dan bermain sesuka hati dengan mata tertutup.

"Ah, tapi saya kira Fraulein Clairine dan... ah, anak itu..." Rieska menunjuk Leynard yang penuh semangat. "...akan memainkannya terlebih dahulu, bukan? Lagipula saya tidak yakin permainan saya bagus. Saya memang tidak pernah memainkan piano dengan... err... sukses. " Rieska membalas pertanyaan guru tersebut. Dahinya sedikit mengerut ketika ia bisa merasakan seseorang menarik-narik celana panjangnya. Ia pun menoleh, sama sekali tidak heran melihat Sawada Tsukiya berdiri.

"Main sama-sama?" tanyanya polos.

Rieska berkedip beberapa kali. Alat musik tiup memang cocok untuk mengiringi alat musik bersenar. Namun, apa yang ia mainkan sekarang adalah klarinet, bukan? Sebaiknya ia meminjam cello atau biola dulu dari Demitri--hanya untuk satu hari ini. Lain kali, ia akan membawa biola.

"Boleh. Tapi tunggu sebentar." Rieska membalas pertanyaan pendek Tsukiya. Ia kembali menghadap Demitri.

"Signore, bolehkan saya memainkan Cello untuk sekali ini saja? Saya akan mengiringi Signore Sawada memainkan lagunya. Tentunya, itu boleh bukan?" Rieska bertanya dengan nada datar.

OOT : @carmen, ga papa kok~ malah senang kali yah~~
eniwei.. apanya yang mantep woy!!
saia seteres kali!
~~~~~~~

Hihihihi~

Lei senang sekali dielus oleh Kakak Camille. "He-eh! Kakak Camille juga hebat kok~" Katanya polos dengan senyum lebar menghiasi wajahnya.

Eh? Kenapa Paman bicara begitu? Hoeh~ Marah yah...

"Iya... Paman..." Katanya lesu karena merasa dimarahi. Padahal hanya ucapan dengan nada yang lebih tinggi dari biasanya.

Namun pemandangan berikutnya lebih membuatnya terkejut. Loh? Kok? Apa-apaan Paman itu? "Paman~~~ Nanti Bibi marah loh~" Panggilnya dengan niat mengingatkan tapi tidak menyadari bahwa ucapannya bisa membuat image pira itu hancur berkeping-keping lalu menjadi bubuk pasir lalu diterbangkan angin. (Rasanya Demi udah beneran kaya punya istri deh...)

Ah? Ada yang main lagi? Wah~ Hebat! Temponya cepat dan kuat. Hebat-hebat~ Agak beda dengan Puppy of Waltz yang dimaikan dengan gaya klasik. Tapi hebat~

@masmun, loh... situ yang ngusul main piano kan~
~~~~~~~~~

"Ah... belum ada penilaian apa-apa Miss. Camille. Hanya perkenalan agar Saya mengetahui bagaimana Anda bermain~" Katanya ramah pada gadis yang sudah mengira ada penilaian pada pertemuan pertama.

Erm... Penontonnya kok? Ah~ Biarkan saja. Tadi baru light sevice... Setidaknya ciumannya belom terjadi kok. Lain soal kalau si 'putri' tidur masih tetap di sini sampai pelajaran selesai dan tinggal mereka berdua.

Erm.. tapi anak-anak jaman sekarang memang tidak sama lagi seperti dulu. Lupakan! Perhatikan saja pemuda yang memainkan gitar dengan beat yang menghentak dan memainkannya dengan versi yang lebih keras. Tapi bagus~ Setidaknya Demi bisa memberi catatan khusus bahwa Kurogami Kaito suka dengan irama yang keras dan menghentak. Ingat saja.

"Sangat bagus. Versi yang lebih keras dan sangat bersemangat. Saya menyukainya. Terima kasih Sir. Kuriogami~" Katanya memberi pendapat.

Demi kembali tersenyum pada Sir. Verriert. "Memang... Tapi masalahnya kalau dari pertama membiarkan murid bermain musik sesuka hati... Bukannya yang lain juga akan mengikuti dan masalahnya tidak akan selesai-selesai. Bukannya Saya tidak menyukai permainan Anda barusan Sir. Verriert. Hanya saja Saya perlu bertindak tegas. Pertemuan berikut-berikutnya akan ada jam bermain bebas..." Jelasnya panjang lebar. Lalu dengan senyum yang biasanya, Demi memaklumi pemuda tersebut tampak gusar dan tidak tenang. Tidak bisa bermain piano kah? Ah... Tapi tampaknya muncul bantuan tidak terduga. Calon Vongola 12th yah~

"Yah... Sudahlah... lagipula baru kesalahan yang pertama. Kali ini Anda akan Saya lepaskan. Silakan tunggu sebentar." Ujarnya melihat pemuda itu tampaknya lebih berminat mengiringi orang lain sebagai hukuman. Tak apa lah~ Lebih baik seperti itu. Kemudian Demi pergi lagi ke dalam ruang penyimpanan. Mengambil sebuah kotak Cello sekaligus isinya yang cukup besar. Demi mendudukkannya di lantai dan bersenderkan pada dinding. Mengambil Cello tersebut lalu membawanya kepada sang pemuda. "Anggap ini hukuman untuk Anda. Iringi Sir. Sawada jika itu yang Anda inginkan."

Hegh!! Apa kata Bocah itu tadi!!

"Lei! Apa yang Kau katakan??!" Katanya panik. Memang ada seseorang yang dipanggil 'Bibi' oleh Lei. Tapi kalau harafiah 'Paman' dan 'Bibi' disatukan... Erm... Tidak. Jangan pikirkan lagi.

"Erm... Setelah lagu ini Kalian bisa melanjutkan ke lagu kedua. Malam ini ada pesta Valentine, jadi Saya menyiapkan lagu yang sesuai. Valentine oleh Jim Brickman. Silahkan..." Katanya lagi lalu memainkan lagu tersebut sebagai contoh. Kembali menggunakan Grand Piano putih yang mengkilap indah. Dengan satu niatan. Semuanya teralih perhatiannya dari ucapan bocah tadi!!

~~~~~~~~
OOT : Thx to Scribd
Partitur Piano Sheet : Valentine - Jim Brickman dalam bentuk PDF
ga bisa nemu yang lain, anggap aja yang lain bisa mainin... maap yah...
Bentar lagi PM mau UTS... jadi mungkin jarang OL dan susah nge-rep... jadi saia minta maap dulu...

OOT:@Demi: Hehe, boleh aja, siapa takut?! *dihajar* (kayaknya jadi seru banget gw liatnya=ni PM uda gila)
@Carmen: Mantep kan? Gw gitu lho! *ditimpukin batu*

"Hem~ Saya sih tidak keberatan~ Bagaimana dengan Anda sendiri?" Tanyanya lagi kembali mnyergap dagunya.

"Tentu saja tidak, sensei berani mencium saya langsung disini?" tantang Raven lagi tersenyum jahil walaupun dia tahu pelajaran musik sedang berlangsung saat itu. Aduh, Raven kamu lagi eror ato memang lagi gila sih? *dihajar Raven* (bukannya salahnya PM?! By: Raven)

Tapi sepertinya guru itu tidak akan langsung menciumnya disini karena selain sudah banyak siswa2 yang menonton mereka, termasuk Camille, guru itu mungkin masih menjaga etiketnya sebagai guru, wow, berwibawa juga kau Demi-sensei? *dihajar Demi*

"Paman~~~ Nanti Bibi marah loh~"

Mendengar itu sebuah ide iseng terlintas di kepala Raven..

"Sensei sudah punya istri toh? Yah..sayang sekali, padahal sensei lumayan menarik lho~" ujar Raven berpose sok manis (euh!) tapi dalamnya lagi ngakak keras=))

"Erm... Setelah lagu ini Kalian bisa melanjutkan ke lagu kedua. Malam ini ada pesta Valentine, jadi Saya menyiapkan lagu yang sesuai. Valentine oleh Jim Brickman. Silahkan..."

"Yah..karena pelajaran sudah dimulai, lebih baik 'bermain' dengan guru itu disudahi dulu deh" batin Raven yang lalu mengambil viola-nya dan seketika langsung memainkan nada2 yang sudah dicontohkan oleh guru tadi dengan lancar. Gini2 juga (apa maksudnya gini?!) si Raven itu bisa langsung main sekali inget nada, dan tekniknya dalam bermain tidak kalah dengan kemampuan memanah dan mengendalikan benang bajanya.

OOT @ Hunter : justru yang membuat stress itu kakak, yang hasil RP-nya bakal disukai!
– A – Berjuang yah pada UTS – nya!
OOT @ Raven : Saya harus banyak belajar dari anda! Mantap gitu loh…

-------------------------------------------------------------------

Cassandra sedikit terperangah ketika partitur yang ditampilkan pada layar monitor berganti judulnya menjadi ‘Valentine’. Sebuah lagu yang sangat hampir tidak pernah Cassandra dengar. Cassandra menyerah dan memutuskan untuk meninggalkan tempat duduknya semula, untuk meminta kopian partitur dari Puppy of Waltz dari Pak Guru. Suasana disekitar stage sepertinya sudah mencair dan akan mudah baginya untuk bisa langsung berakrab ria dengan mereka.

“Permisi, apa Bapak punya kopian dari judul partitur yang pertama? Saya masih tidak hafal dengan lagu tersebut.” Ucap Cassandra ketika menghampiri Pak Guru.

“Lalu, Pak, jujur saja saya belum pernah sama sekali mendengarkan lagu ‘Valentine’ dari partitur kedua ini… Apa tidak bolehkah saya memainkan lagu dengan judul lain yang sekiranya saya familier, Pak….?” Bisik Cassandra pelan dengan sedikit menarik lengan jas Pak Guru, karena perbedaan tinggi yang sedikit mencolok, yang diselingi dengan suara yang mengalun indah dari alat musik cello yang dimainkan oleh ‘korban’ Pak Guru barusan.

"He-eh! Kakak Camille juga hebat kok~" Katanya polos dengan senyum lebar menghiasi wajahnya.

Camille tersenyum senang melihat Lei, Lei itu memang lucu dan imut ya~Camille senang sekali pada anak kecil seperti Lei yang tidak nakal seperti anak kecil kebanyakan umumnya.

"Paman~~~ Nanti Bibi marah loh~"

"Heh~? Ternyata Demi-sensei sudah punya istri toh?" komentar Camille menatap Demi penasaran.

"Ah... belum ada penilaian apa-apa Miss. Camille. Hanya perkenalan agar Saya mengetahui bagaimana Anda bermain~" Katanya ramah pada gadis yang sudah mengira ada penilaian pada pertemuan pertama.

"Yah..tidak apa2lah!" balas Camille yang sempat kecewa tapi kemudian bersemangat lagi.

Camille lalu melihat Raven berlagak pose manis yang membuatnya jadi melihat lagi ke arah 'tontonan' yang menarik itu.

"Woow~~Raven-kun memang hebat ya" batin Camille tertawa kecil melihat 2 orang pria itu.

Kemudian tidak lama kemudian Demi-sensei meminta mereka untuk memainkan lagu selanjutnya dnegan tema Valentine yang langsung dimainkan dengan indahnya oleh Raven..

"Wah~~keren Raven-kun! Bagus lho!" kata Camille memuji permainan Raven yang memang bagus.

OOT:@Raven: Gw bilangin ke Kiara lu besok!

Pelanggaran kedisiplinan tingkat tinggi...

BRAKK!

Dalam sekejap, flutenya sudah kembali masuk ke dalam tas dan yang dikeluarkan adalah Berith, three-joined staff miliknya. Louise Aspley Michelet menggeram marah, memelototi guru dan murid yang saling menggoda itu dengan mata kirinya yang menyala merah darah. Tidak bisa diampuni. Tindakan tidak etis, di hadapan murid-murid yang masih di bawah umur. Tak sadarkah mereka banyak murid first grade di sini? Bahkan Papa dan Mama saja, yang hubungannya sudah resmi, tidak pernah coba-coba seperti ini di jam sekolah.

Mereka harus didisiplinkan. Harus, seperti meja Louise yang hancur berantakan karena pengaruh hantaman senjatanya.

Gadis berambut biru tua ini pun mengambil ponselnya dan menghubungi suatu nomor.

"Halo? Kepala Sekolah? Guru Musik, kode pelanggaran etik nomor tiga, penunjukan hal-hal yang tidak pantas pada anak di bawah umur. Konsekuensi?" dia berhenti sebentar seolah berpikir. "Terlalu ringan. Dia sudah menodai pikiran Capofamiglia Vongola. Potong gaji tidak cukup, tahu. Hah? Cekik dan gantung? Hm, itu akan merepotkan. Cari guru barunya gimana? Hah? Oh, anda yang atasi? Oke."

Dan dia pun mematikan ponselnya, lalu menghampiri pemuda yang tengah memainkan cellonya itu. Mengayunkan Berith sesenti dari telinga pemuda itu, menghancurkan tembok di belakangnya. Matanya bersinar kejam, dan bibirnya melengkung tanda kesal. Dan, oho, auranya benar-benar mirip dengan ayahnya saat marah.

"Pelanggaran. Lakukan itu di kamar asrama, dan jangan di depan umum. Kalau itu kalian teruskan, Kepala Sekolah akan terpaksa menghubungi Undertaker untuk mengurusi mayat kalian," kata Louise dingin, dan duri-duri di senjatanya mendadak muncul.