Combat Class - Third Grade, Prepare Yourself

"Yakin kalian mau cabut? Rasanya kalau kalian cabut bakal ada hukumannya lho. Lagipula dibilang gurunya sibuk pun aku punya perasaan kalau di depan sana ada satu lagi ilusinya yang menunggu murid yang terlambat dan murid yang melarikan diri."

"Hm, Iya juga seh.." gumam Raku. "Ya, klo diliat dari senyuman di muka si sensei itu, nggak mungkin dia belon menyiapkan sesuatu di luar. Haah... parah bgt deh ih, hari ini, tau gitu gw tadi sambung tidur aja..."

Spt nya ada seorg guru lageh yg masuk ke kls... Dan murid2 maseh cuek aja menyerang Adriano, malahan ada yg sampe make granat. Haha, klo meledak di kls, kyk nya rame juga ya~?

"Oh well..."

Raku kembali memposisikan diri nya di kursi supaya lebih nyaman, dan terus memperhatikan saja 'pelajaran' di kls itu spt apa..

Seorang gadis berambut putih menyerang guru combat dengan tombaknya. Dan entah kenapa, semua murid, kecuali dua, juga ikut menyerang. Bahkan ada yang langsung memakai granat. Bagaimana dengan Uetsu?

Ia mengeluarkan Venus yang dalam keadaan tanpa rantai. Lalu dengan cepat, menapaki atas meja dan melompat ke atas kepala Adriano. Venus siap di tangan. Dengan posisi di atas, ia mengarahkan pukulan bertubi-tubi dengan morning starnya yang berat itu. Lalu dengan satu sentakan kecil, memisahkan 'pentungan' (entah apa namanya ) dan gagangnya sehingga tersambung dengan rantai sepanjang 30 cm. Mengayunkan venus-berantai ke arah kepala Adriano dengan ganas. Guru tidak boleh diremehkan, jadi ia juga tidak boleh menahan, dong? Dan bagaimanakah hasilnya? Apa guru combat itu dapat mengelakan semua serangan dari muridnya?

Emm...ada apa ini...?

Sambil menangkap kipasnya yang baru saja terbang memutar di seluruh ruangan itu, Reuel hanya bersweat drop melihat granat yang siap meledak di ruangan itu. Ditambah three-shot burst dari murid yang dari tadi tidur. Lalu malah ada morning star yang diayun-ayun dengan ganasnya.

Dan baguslah, Raku batal cabut. Meski dia rada trauma gara-gara mereka, bukan berarti dia sampe death-wishing ke mereka, atuh.

Anyway.

Dia kembali melirik guru tadi. Entah gara-gara apa, dia agak merasa tersinggung tanpa alasan. Panas karena ingin adu kekuatan? Rasanya nggak, secara dia bukan tipe orang yang suka pamer kekuatan. Dikata-katain? Rasanya tuh guru nggak ngomong apa-apa.

Dengan malas dia melihat ke seluruh ruangan. Meski ruangan itu cukup besar, tapi kalau ada ledakan granat bisa-bisa hancur tuh satu ruangan.

Alright, self-discussion time. Kalau dia ikut-ikutan 'perang kecil' melawan guru nappo ini, mungkin ekor-ekornya dia malah kena peluru nyasar atau ledakan granat, ato mungkin malah dilahap box animal salah sasaran. Tapi kalau dia nggak ikutan juga dia ngga ada kerjaan, secara feelingnya bilang di luar sana ada ilusi Adri yang siap menghukum para pembolos.

Haaaaaaaaaaaah.

Dua kipas pun langsung dilemparkannya ke arah Adri. Yang satu dilempar melengkung seperti lemparan pertama, yang satu dilempar lurus langsung ke arah guru itu.

Wogh. Guru itu hebat juga. Much to his disappointment, tapi yah, hebat juga. Segera saja granat dipukul keluar--Homerun? Ha!--dan meledak berkeping-keping. Bunyinya yang memekakkan telinga terdengar dari luar jendela. Wah, wah, mungkin terdengar sampai satu sekolah ya?

Namun mata biru Rico berbinar sedikit, terpaku pada arah serangannya, menatap peluru-pelurunya menembus tubuh guru itu. Darah yang mengucur membasahi lantai yang diinjaknya. Belum lagi kipas yang melayang merobek--

FUUUT...

Hilang.

Gah. Lagi-lagi ilusi? Meskipun alisnya berkerut, tapi binar di matanya malah semakin terang. Kira-kira, bagaimana mengalahkan ilusi-ilusi itu? Apakah trident itu yang membuat ilusi-ilusi tadi? Ataukah kemampuan itu memang alami ia miliki? Kedua tangan Rico menopang dagu, menatap terus pada si wakil kepala sekolah.

Hee...

Sayang sekali, guru yang satu lagi sudah datang, sepertinya. Dan pelajaran akan dilanjutkan kembali. Teori. Ouch. Anak itu menyelipkan lagi Glock-nya ke balik jas seraya menegakkan sedikit posisi duduknya, menguap untuk terakhir kalinya. Kemudian, dengan menopang dagu, Rico memerhatikan dalam diam.

Wew....

Ele hanya bisa terdiam melihat guru yang tadinya berdarah-darah diserang banyak murid itu tiba2 muncul lagi dengan santainya dari atas langit2...

"Memang tidak mungkin membuatnya luka barang segores pun ya.." batin Ele menghela nafas menarik kembali Sinclairnya. Untung dia tidak usah sekalian mengeluarkan Stainhartnya tadi.

Kemudian seorang pria yang tampaknya juga adalah salah satu guru kelas itu datang ke kelas sehingga Adriano-sensei berkata sebaiknya kita memulai pelajaran teori Combat. menarik kembali Sinclairnya. Untung dia tidak usah sekalian mengeluarkan Stainhartnya tadi.

Ele pun kemudian duduk kembali di tempat duduknya tadi, terserah saja kalau pelajaran teori mau dimulai. Dia tidak terlalu peduli..

Tersenyum Aurellia hanya tersenyum tipis memandang kearah para murid yang bernapsu didepan tempat itu, tampaknya mereka semua tidak sadar akan ilusi yang dibuat oleh Aurellia pada saat itu, hanya tersenyum bahkan guru yang didepannya itu tidak menyadari akan hal tersebut dan dengan panik melemparkan granat tersebut keluar dari ruangan tersebut dan membuat granat tersebut meledak begitu saja. Aurellia hanya tersenyum. Satu kata yang mungkin dapat dikatakan untuk guru tersebut. bodoh.

Apakah sebenarnya seorang guardian tidak dapat membedakan yang mana yang ilusi dan yang mana yang tidak? Apakah sampai sebegitu sulitkah? Siapa yang tadi bilang kalau ia adalah seorang ahli ilusi? Bahkan untuk seorang murid berumur 17 tahun. Sangat menarik. Kau bercanda bukan? Apakah ini kemampuan dari seorang vongola guardian? Mungkin Aurellia adalah ketua namun seharusnya pengalaman guru tersebut jauh lebih daripada Aurellia bukan?

Memandang kearah guru tersebut dengan senyuman manis diwajahnya. Lalu berjalan mendekat kearah guru tersebut. Menambahkan aturan baru kepada murid murid karena tidak boleh menggunakan granat. Aurellia hanya tersenyum dan memandang kearahnya sekarang, lalu melihat guru lain yang datang ke kelas itu, lalu kembali kearah gurunya tersebut.

"Jadi, Apakah anda seorang guru yang ahli ilusi tidak dapat membedakan yang mana yang ilusi dan mana yang tidak?"

Sebenarnya Aurellia hanya ingin bermain main, mengapa dianggap serius? Aurellia hanya tersenyum kearah guru tersebut dan memasukan tangannya kedalam sakunya lagi lalu mengeluarkan dua buah granat. Tersenyum kearah guru tersebut dan memandang kearah kedua matanya.

"Jadi sensei, kalau kulempar ini kearahmu apa yang akan terjadi?"

Aurellia masih tersenyum kearah gurunya tersebut sambil membuka kedua granat tersebut dengan mulutnya. Lalu tersenyum kearah gurunya tersebut dan melemparnya kearah gurunya tersebut dan berjalan mundur.

Jadi? Adri malah menyuruh gadis ini berpose seperti itu? Maaf, bukankah sudah jelas dari raut wajah gadis ini bahwa dia menolak? Tidak, sekalipun untuk nilai. Siapa juga yang mau melakukan hal bodoh macam barusan yang secara tidak langsung membuat harga dirinya dipandang rendah di hadapan orang lain?

Tidak lama, sang guru memulai suatu pembukaan. Hei, apa itu? Seorang gadis yang terksesan aneh muncul di hadapannya. Ilusi? Nampaknya iya. Meskipun memang bukan, siapa peduli? Intinya tetap seperti tadi, Luna menolak untuk bergaya seperti itu, titik. Belum sempat Luna berpikir untuk pergi saja dari ruangan ini, semacam kabut menghilang dari ruangan yang tadi seolah dimanipulasi dan berakhir dengan Adri duduk di kursi sambil menyeruput secangkir kopi bersama Trident-nya di sampingnya dan seekor Phoenix terbang mengelilingi ruang kelas. Hei, kau pikir kau ini seorang pesulap, sir? Mungkin memang harus berhati-hati dengan orang yang satu ini. Siapa yang tahu jika nanti dia berkhianat? Bisa saja 80% mustahil untuk mengalahkannya dan Vongola dihancurkan olehnya? Yeah, who knows?

Bisa terlihat jika guru itu dengan malasnya dan penampilannya yang serampangan, memulai combat class ini. Menawarkan diri untuk diserang? Rasanya tidak mungkin orang yang lemah dan belum berpengalaman menghadapi serangan bertubi-tubi dari beberapa orang dengan kata lain, dikeroyok dan menanggapinya dengan santai? Sekarang bagaimana dengan Luna, apa ikut menyerang? Fuh~ Lebih baik menunggu giliran yang selanjutnya. Lagipula, apa yang akan dilakukan oleh guru yang baru saja datang itu, Kano? Hanya menonton? Hei, hei. Kenapa tidak ajak Luna sekalian?

Ukh, kepalanya pusing, sedangkan keributan diruangan itu hanya berkurang sebagian saja. Sebenarnya Kano masih bingung kenapa dia diberi tugas sebagai guru, kalau ada guru pasti ada murid dan masalahnya mafia itu tidak hanya terdiri dari 1-2 orang saja sehingga otomatis murid di sekolah itu akan menjadi sangat banyak. Sambil menghela nafas Kano menarik sebuah kursi dan duduk diatasnya.

"Bisa lebih tenang sedikit? Teori...teori..." Kano kemudian menatap Adriano tapi sepertinya Adriano meski ditanya tidak akan membantunya 100%

"Hmmm...apa yang paling penting dalam pertempuran? Adakah yang bisa menjawab?.." Tanya Kano kepada semua orang disana. Yap, semua orang termasuk Adriano rekan kerjanya sendiri. Sepertinya Kano sedang menilai pribadi-pribadi masing-masing dari orang-orang di ruangan itu...meski ia tidak perlu lagi mengetahui pribadi Adrianmo sih...

Ah...teorinya mulai...

dua kipasnya segera kembali ke dia dengan selamat. Langsung saja dia duduk, memutuskan untuk tidak ikut-ikutan masalah lagi.

"Hmmm...apa yang paling penting dalam pertempuran? Adakah yang bisa menjawab?.."

Reuel sedikit menimbang-nimbang. Hal paling penting dalam pertempuran...mengenali batas diri sendiri dulu kan...? Kan kalau tidak mengerti diri sendiri juga sulit kalau mau melawan musuh...? Then again, dalam pertempuran juga harus mengenali wilayah tempurnya...

Uuuuuhhh...

"mengenali diri sendiri dulu beserta dengan kelebihan dan kekurangannya...? Kok rasanya agak..."gumamnya pelan, agak sedikit ragu.

Iyeey, gajelas dah. Dia menghela napas panjang. Benar-benar pertanyaan super rancu yang cara menjawabnya bisa macam-macam...

Guru yang satu lagi mulai berbicara. Koreksi, dia mulai berbicara dengan bertanya pada semua orang dalam kelas.

"Apa yang paling penting dalam pertempuran?"

Seorang pemuda berambut putih merespon dengan bergumam pelan bahwa yang paling penting adalah mengenali diri sendiri. Woa, teori. Tapi yah, terserah saja kalau pemuda itu berpendapat begitu. Rico sendiri berpendapat...

"Keberanian," jawabnya mantap seraya menatap lurus guru itu. Koreksi lagi sih, yang penting itu kenekatan. Tapi yah, sudahlah. "Oh. Dan ini." Telunjuk Rico mengetuk-ngetuk sisi samping batok kepalanya. "Otak." Sedikit logika dan siasat tidak akan menyakiti siapapun, bukan? Walaupun, ia harus akui, serangan yang tadi tidak berlogika sama sekali, hanya mencuri kesempatan saja.

Yah, well. Whatever.

Hmmm...apa yang paling penting dalam pertempuran?

Tiba2 guru satunya, Kano-sensei, memberikan pertanyaan yang entah harus dibilang unik atau aneh...

Ele melihat sudah ada 2 orang pemuda yang menjawab pertanyaan itu, yang satu pemuda yang bermuka lempeng (tidak ada ekspresi) dan yang satu.

"Apa yang paling diperlukan? Tentu saja kan...teknik pertarungan yang kita miliki, di arena pertempuran orang yang lemah tidak akan diperlukan..." jawab Ele menatap Kano-sensei namun dari pandangannya dia hanya seakan-akan melihat guru itu padahal pikirannya melayang mengingat kembali kejadian perang besar 3 tahun yang lalu.

Hehe~ Untung aja tadi Raku nggak ikut2an yg laen nyerang Adriano-sensei~ Cukup ngeliatin *dan ketipu* sekali, udah cukup bwt dia bwt ngebedain yg mana yg ilusi dan mana yg asli. (Halah, Raku, bilang aja loe males ikut2an. ) Dan guru 1 nya lageh *yg tampang nya galak bgt* pun masuk ke kls, utk memberikan pelajaran teori.

Hmmm...apa yang paling penting dalam pertempuran?

"Hm, klo ditanya langsung begini susah juga ya..." gumam Raku, berpikir sebentar, trus ngejawab. "Kemampuan menghindar dan melarikan diri. Sekuat apapun org, klo kena serangan terus, pasti bakalan tepar juga kan?" Dan dia pun mikir lageh.

"Sama otak. Klo otak nggak dipake, buat apa ditaro di kepala??"

Beberapa murid sudah mulai menjawab pertanyaan yang ditanyakan guru berambut hitam dan bertampang galak itu.

"Seharusnya sih sesuatu yang layak untuk diperjuangkan harus ada," Haruki berkata sambil setengah mengangkat tangan kanannya. "Alasannya bisa beda-beda, mungkin melindungi orang yang dicintai, ingin lebih kuat atau apalah. Yang jelas kalau ada hal yang ingin dicapai, pasti pertarungannya akan semakin berarti."

Uuh...semoga saja Ia tidak terdengar seperti pahlawan-pahlawan di manga yang berkoar mengenai hal seperti cinta dan persahabatan.
Tapi Ia memang tidak menyukai pointless battle.